Rabu, 16 Agustus 2017

Bagaimana Instagram Membantu Menyusun Resepsi Pernikahan

Kekuatan media sosial (medsos) saat ini udah nggak diragukan lagi. Cuma dalam dua tiga kali klik kita bisa menyerap segudang informasi dari medsos. Salah satu medsos yang paling sering aku akses adalah Instagram (IG).

Instagram terasa manfaatnya ketika beberapa bulan lalu aku mau menikah. Saat persiapan pernikahan, aku kerja di Malang, orang tua di Jogja, calon suami di Jakarta, dan ortu calon suami di Tegal (fiuh!). Maka beberapa persiapan dilakukan secara jarak jauh. Salah satunya soal resepsi pernikahan.
Di sini aku akan mengulas vendor yang aku gunakan jasanya ketika menyelenggarakan resepsi. Hampir semuanya aku pilih berdasarkan contoh hasil kerja mereka yang diposting di Instagram. Selain itu, salah satu pertimbangan penting buatku adalah jarak tempuh si vendor jangan terlalu jauh dari rumahku.

Semua vendor yang aku gunakan jasanya ada di segmen medium. Artinya tidak murah tapi juga tidak mahal. Sesuai prinsipku dan calon suami, resepsi tidak usah mewah-mewah apalagi sampai menumpuk utang di sana-sini. Apa aja vendor nikahan yang aku pakai kemarin? Cekidot di bawah ini. 

1. Undangan
Bicara soal desain dan variasi undangan maka Jogjalah gudangnya. Percetakan yang menawarkan undangan lucu, kekinian, dan murah bertebaran di Kota Gudeg ini. Bab cetak mencetak undangan akhirnya aku minta bantuan ke Kalimaya Invitation yang notabene punyanya temen adekku.  
Sebenarnya pilihan pertama bukan di Kalimaya. 

Aku udah punya inceran 'tukang undangan' di Seturan dan Jalan Parangtritis. Tapi pas aku datang ke sana ternyata kantornya lagi tutup. Di samping itu, order undangan di 2 tempat itu ternyata kudu antre banget nget. Nggak heran karena desainnya undangan kece badai dan baguz. Maka dicarilah alternatif lain dan pilihan jatuh ke Kalimaya.
Kalimaya ternyata juga punya desain-desain lucu dan harga jape methe (harga teman) pas aku pesen. Satu aja request suami buat desain undangan: simpel dan jangan norak. Undangan dengan desain vintage dan bahan kertas doff Kalimaya dibanderol sekitar Rp 4 ribuan per lembar. Cocok pokoknya!
 
Undangan pernikahanku yang didesain dan dicetak Kalimaya Invitation
Di undangan ini aku dan calon suami kala itu menyingkirkan sesi foto pre wedding. Faktor utama karena kami saling berjauhan dan calon suami sibuk kerja plus kuliah. Faktor lain karena dalam agama juga tidak ada tuntunan foto prewedd sebagai syarat sahnya pernikahan. Sehingga, uangnya bisa kita alihkan untuk kebutuhan lain. 

2. Souvenir
Dari semua printilan resepsi, souvenir adalah yang paling bikin aku semangat. Soalnya aku adalah pecinta pernak-pernik handmade dan doyan bereksperimen dengan mesin jahit. Sempat terlontar ide aku mau jahit sendiri souvenir untuk nikahan. Tapi ayah sama ibuk menentang soalnya menyita banyak waktu dan rawan capek. Apalagi jarak penetapan tanggal pernikahan dan hari-H cuma berjarak 3 bulan. Mefet banget kalo dikerjain sambil liputan sehari-hari. 
Fungsional adalah alasan kenapa aku suka souvenir dompet berbahan kain kanvas ini
Untuk souvenir aku percayakan pada Gelyse Wedding. Pertama nemu IG-nya langsung bikin jatuh cinta. Karena selain menjual souvenir-souvenir standar, Gelyse juga menyediakan souvenir handmade yang lucu-lucu. Suka banget! 
Salah satu model kipas spanyol di Gelyse Wedding
Rentang harga di Gelyse bervariasi. Mulai Rp 2 ribuan sampe puluhan ribu juga ada. Untuk resepsiku, aku pilih dompet kanvas dan kipas spanyol. Semuanya ada di kisaran harga Rp 4 ribu - Rp 5 ribu per buah. 

3. Dokumentasi
Inilah pencarian yang menyita waktuku paling banyak. Tahu sendiri sekarang orang yang menyediakan jasa poto2 seabreg banyaknya. Setelah ceki-ceki IG, aku memilih Alceo. 

Aku ambil Alceo di detik-detik terakhir persiapan nikahan karena vendor sebelumnya very slow response hingga akhirnya  DP foto dikembalikan utuh. Jangan lupa selalu waspada pilih-pilih vendor ya.
Fotografer Alceo, Mas Rahmat, masih sepantaranku. Makanya ketika diskusi foto kayak apa yang aku pengen pas resepsi obrolannya bisa asik. Hasil fotonya lumayan bagus. Sayangnya ketika dicetak di wedding book beberapa foto terlihat kurang tajam. Aku pikir kekurangan itu ada di kualitas percetakannya. Soalnya ketika dicetak untuk album foto biasa, semua fotonya bagus dan tajam. 

Sebenernya buat jasa foto ada tawaran bantuan dari beberapa temen. Dengan profesiku di dunia jurnalistik, aku punya banyak temen-temen fotografer. Tapi sayangnya semua ada di luar Jogja. Yang di Jogja juga ada sih, tapi ternyata doi udah tutup lapak jadi fotografer manten karena alat-alatnya udah dijualin.

Ada juga temen yang menawarkan wedding cinematic dan hasilnya aku akui emang bagus. Tapi lagi-lagi lokasi dia ada di luar kota. Setelah diitung-itung biaya akomodasi ditambah biaya jasa buat mereka hasil angkanya justru membengkak. Hahaha.. 

Aku nggak akan menego harga serendah-rendahnya hanya karena mereka teman. Stand by seharian untuk motret, nge-shoot dari subuh untuk bikin wedding cinematic, itu capek. Belum lagi ngedit-ngeditnya. Itu semua butuh ilmu serta tenaga nggak sedikit. Aku nggak pengen mereka malah jadi 'kerja bakti'. Ini kenapa malah jadi curhat. 

4. Catering
Di resepsi manapun, hal yang paaaling diperhatikan tamu adalah makanan. Buat yang punya hajat, jangan sampe makanan habis padahal tamu masih mengalir datang. Rasa makanan juga jadi faktor yang nggak boleh ditawar. Urusan perut para tamu resepsi, aku serahkan sama Gina Catering. 
Makan mie kocok lima mangkok biar nggak pingsan kalo pas resepsi ketemu mantan
Tetanggaku yang sering manfaatkan jasa Gina memberi review bagus soal catering ini. Selain pengalaman Gina Catering udah banyak, alasan utama aku pilih Gina karena deket banget sama rumah. Hehehe... 

Menunya Gina buanyak dengan harga yang affordable. Mau menu yang tradisional sampe modern ada semua. Rasa juga oke. Semua okelah menurutku. Owner Gina juga ramah dan fast response. 
Jangan pesen makanan dalam jumlah mepet buat jaga-jaga, biar tamu resepsi nggak cuma datang salaman sama manten aja. Ahaha...
Tapi, ada tapinya. Pelayan-pelayan yang bantu di Gina pas resepsiku terlalu cepat membereskan makanan. Menurutku sebaiknya klien diberi toleransi setengah jam dari jadwal selesai acara harusnya masih bolehlah. Tapi ini pas di jam selesai acara sesuai undangan, saat itu pula makanan diberesin. Padahal masih ada tamu yang makan di situ. Kesannya kayak kurang sopan aja gitu karena makanan juga masih banyak di meja. 

Oiya, beberapa hari setelah resepsi Gina Catering ngasih aku dan suami kejutan. Gina memberi kami kado pernikahan berupa satu set tupperware (yang sampai saat ini masih terbungkus rapi karena banyak yang kasih tupperware sampai kita bingung kapan makeknya :D). Terima kasih Gina Catering :*

5. Make Up
Sejak awal merencanakan pernikahan, aku udah mengincar Griya Rias Anna di Jalan Magelang. Ini berawal dari tetanggaku yang menikah menggunakan jasa Griya Rias Anna dan hasilnya bagus. Ketika itu aku yang masih gadis jadi among tamu juga udah merasakan dirias oleh Griya Rias Anna. 
Dirias oleh Griya Rias Anna. Maapkan jika struktur wajah model tidak mendukung. :p
Sebagai penata rias, Mbak Anna bisa bersikap luwes dan renyah ketika menangani calon manten. Hasil make up nya oke dan tanpa kerok alis. Kerok alis sangat aku hindari karena dilarang dalam Islam. Aku meluncur ke IG Griya Rias Anna sekadar buat liat-liat aja karena awalnya tau secara langsung. 

Aslinya cuma mau pamer kemesraan berkedok pamer hasil riasan resepsi
FYI, foto2 di IG-nya menurutku nggak merepresentasikan hasil rias Mbak Anna secara maksimal. Akan lebih baik kalau yang diunggah adalah hasil jepretan profesional daripada swafoto (selfie). Kalo pengen tau lebih soal hasil riasan Mbak Anna mending cek langsung ke TKP di Jalan Magelang. Di sana ada banyak foto-foto hasil riasan Mbak Anna dengan gambar yang lebih jelas dan ciamik. 
Salah satu baju di Griya Rias Anna
6. Dekorasi dan Tenda
Resepsi pernikahanku digelar di joglo milik Mbah Kartini yang ada di depan rumah. Alhasil biaya yang dikeluarkan Rp 0 untuk sewa tempat karena kami adalah tetangga baik. Uwuwuw... Meski begitu dekorasi dan tenda tetep harus cari sewaan. Aku merogoh kocek sekitar Rp 6 jutaan buat dekor dan tenda. 

Dekorasi sederhana aja yang penting pernikahan sah
Sengaja pilih tenda serba putih karena tema resepsi tradisional dan minimalis. Bonusnya kalau milih warna putih, kami dapat harga lebih murah daripada harga sewa tenda yang warna-warni. Dekor dan tenda ini aku dapet dari temennya temenku. Lokasinya di Kronggahan, Sleman.

Sudah halal sudah boleh begini
Yaaassshh! Kira-kira seperti itulah vendor-vendor yang aku pakai ketika menggelar resepsi. Sebagai gambaran, total biaya yang dibutuhkan untuk menggelar resepsi sekitar Rp 35 - Rp 40 jutaan. Aku nggak bisa sebutkan angka pastinya karena emang nggak dihitung banget. Budget itu udah termasuk band pengisi resepsi. Band itu juga dapetnya murah nggak sampai Rp 1 juta karena bantuan temen adekku.

Dengan kondisi aku cuma bisa pulang ke Jogja paling cepat 2-3 pekan sekali, Instagram membantuku banget nyari vendor resepsi. Biar menghemat waktu, aku telusuri Instagram untuk cari tau vendor-vendor mana yang oke untuk resepsi pernikahan. Ketika pulang ke rumah, aku udah punya gambaran ke mana aku survey vendor dan nggak butuh waktu lama untuk menentukan pilihan. 

Minggu, 14 Agustus 2016

Jangan Berjanji di Kaki Bromo

Hari Lentho memeras otak merancang pementasan Sendratari Roro Anteng dan Joko Seger. Tari yang dipentaskan pada malam upacara Yadnya Kasada itu ia persiapkan dua bulan lamanya. Sebanyak 43 anak-anak Suku Tengger dilibatkan dalam sendratari yang mengisahkan asal usul ritual Yadnya Kasada. “Tidak boleh ada satu adegan pun yang dihilangkan dalam alur cerita, semua harus ditampilkan utuh,” terang seniman asal Surabaya itu. Pemeran anak-anak Roro Anteng dan Joko Seger juga harus genap 25 anak. Tidak boleh kurang apalagi lebih.

Kasada adalah upacara wajib yang pantang ditinggalkan masyarakat Suku Tengger. Upacara ini merupakan perwujudan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi atas limpahan rezeki yang telah mereka terima. Tanah di sekujur Bromo memang terkenal sebagai tanah yang kaya unsur hara. Segala macam tanaman buah dan sayur tumbuh subur memberi hasil panen yang menggembirakan. 

Itulah sebabnya meski Gunung Bromo tengah erupsi dan berstatus Waspada sejak lima bulan terakhir, kondisi itu tak menghalangi digelarnya Kasada. Kasada adalah entitas masyarakat Tengger yang terus dilestarikan.

Nilai-nilai hakiki masyarakat adat Tengger, menurut Hari, tertuang dalam sendratari Roro Anteng dan Joko Seger. Tugas utamanya adalah menyampaikan nilai-nilai moral dalam pementasan berdurasi 30 menit. Nilai menonjol yang harus dicontoh dari suku Tengger adalah menyatunya perilaku, ucapan, dan hati. “Masyarakat Tengger dilarang berjanji karena kisah Roro Anteng dan Joko Seger berawal dari janji yang tidak ditepati,” ujar Hari berkisah usai pementasan.

Bagi masyarakat Tengger, menyatunya hati, ucapan, dan pikiran adalah nilai hidup yang tak bisa ditawar. Foto: AFP/Juni Kriswanto

Selama enam tahun membersamai masyarakat Tengger, seniman tari ini menyerap banyak kearifan lokal. Pernah ketika hendak pulang ke Surabaya, ia berkata akan kembali lagi ke Desa Ngadisari, desa terujung yang paling dekat dengan puncak gunung. Warga setempat buru-buru mengingatkan agar Hari meralat ucapannya. “Jangan berjanji,” ucapnya menirukan nasihat warga desa.

Demikian pula  pada persiapan sendratari kali ini. Hari memastikan tak ada satu adegan pun dari legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang ia pangkas. Penyampaian kisah yang utuh dimaknai sebagai pesan agar siapapun senantiasa menyampaikan kebenaran secara menyeluruh.

Beberapa waktu silam, Gunung Bromo sempat bergejolak dan memuntahkan hujan abu. Konon, masyarakat adat Tengger meyakini kehadiran rombongan mahasiswa KKN dari sebuah perguruan tinggi menjadi penyebab Bromo rewel. Mahasiswa mengajarkan anak-anak sendratari namun menghilangkan adegan pernikahan Roro Anteng dan Joko Seger.


Sendratari Roro Anteng dan Joko Seger pada Kasada 20 Juli 2016. Foto: dokumentasi pribadi

Vina Salviana dalam buku Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger menjelaskan konsep hidup masyarakat adat Tengger. Konsep hidup masyarakat adat Tengger adalah mengikuti ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti panca setya. Ajaran tersebut meliputi setya budaya (taat, tekun, mandiri), setya wacana (setia pada ucapan/perkataan), setya semaya (setia/menepati janji), setya laksana (patuh dan taat), dan setya mitra (setya kawan). Ajaran ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat adat Tengger.

Perilaku dan tindakan anggota masyarakat adat Tengger selalu diusahakan tidak melanggar adat istiadat dan aturan-aturan yang ada. Adapun aturan-aturan yang harus ditaati adalah tidak menyakiti atau membunuh binatang kecuali untuk korban dan dimakan, tidak mencuri, dan tidak berdusta. Tidak melakukan perbuatan jahat dan tidak minum minuman yang memabukkan.

Penulis lain dalam buku yang sama, Muhammad Hayat, mengemukakan ritual-ritual yang dilakukan masyarakat adat Tengger pada dasarnya adalah keinginan mereka agar alam tidak murka. Bagi mereka, kebutuhan agar tetap bertahan hidup yang bisa menyediakan adalah alam. Maka secara ekonomis tindakan rasional yang harus dilakukan adalah menyeimbangkan diri dengan alam.

Akibat ditegakkannya nilai-nilai luhur dan adat istiadat, angka kriminalitas di kalangan Suku Tengger mencapai nol persen. Maka jangan heran jika kabar kejahatan tak pernah berembus di lingkungan desa suku Tengger. “Jika ada yang melanggar aturan dipercaya akan memperoleh karma,” kata petinggi Desa Ngadisari, Supoyo. Karma apa yang akan diperoleh, tidak ada yang mengetahui secara pasti. Supoyo mengatakan karena patuhnya masyarakat Tengger, ia belum pernah mendapati ada warga desanya yang terkena karma. 

Dinginnya hawa di Bromo membuat masyarakat tak bisa lepas dari sarung dan penutup kepala. Foto diambil dari sini

Kekeramatan Gunung Bromo diawali dari cerita Roro Anteng dan Joko Seger. Alkisah, pasangan suami istri yang merupakan keturunan Kerajaan Majapahit ini memohon kepada Tuhan agar diberikan keturunan. Usia pernikahan mereka yang sudah berlangsung lama terasa gersang tanpa kehadiran buah hati.

Setelah berulang kali berdoa dan bersemedi, Tuhan mengabulkan permintaan pasangan ini. Namun ada satu syarat yang harus dipenuhi. Roro Anteng dan Joko Seger harus mempersembahkan anak terakhir mereka ke kawah Gunung Bromo. Keduanya menyanggupi syarat tersebut dan pasangan ini dikaruniai 25 anak. Sesuai janji yang sudah mereka ucapkan sebelumnya, anak terakhir yang bernama Kusuma harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.

Namun selayaknya orang tua, suami istri ini tak sampai hati merelakan anaknya dikorbankan ke kawah. Roro Anteng dan Joko Seger mengingkari janjinya. Keingkaran ini harus dibayar mahal. Sekonyong-konyong Gunung Bromo memuntahkan lava dan menimbulkan bencana. Langit diselimuti awan mendung disertai kilat yang tak berhenti menyambar. Roro Anteng dan Joko Seger bersimpuh ketakutan di lautan pasir memohon ampun kepada Sang Hyang Widhi atas kelancangan mereka.

Petir lantas menjilat tubuh Kusuma dan melemparkannya ke kawah Bromo. Bersamaan dengan lenyapnya Kusuma terdengarlah suara gaib. “Saudara-saudaraku, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Sang Hyang Widhi untuk menyelamatkan kalian semua. Hiduplah dengan damai dan sembahlah Sang Hyang Widhi. Aku ingatkan agar kalian mengadakan sesaji berupa hasil bumi setiap hari ke-14 bulan Kasada sebagai persembahan kepada Sang Hyang Widhi ke kawah Gunung Bromo,” demikian ucapan Kusuma sebagaimana diyakini masyarakat adat Tengger.

Upacara Yadnya Kasada tak boleh ditinggalkan meski Gunung Bromo tengah batuk-batuk. Foto diambil dari situs ini.

Cerita Roro Anteng dan Joko Seger dipercaya sebagai asal usul masyarakat Tengger. Jumlah keturunan Roro Anteng dan Joko Seger terus bertambah dan menghuni perdesaan di Kaki Gunung Bromo. Secara administratif  masyarakat Tengger tersebar di empat kabupaten yaitu Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang. Desa paling tinggi dan paling dekat dengan kawah Bromo adalah Desa Ngadisari di Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Kata Tengger ini sekaligus mengandung makna Tenggering Budi Luhur alias pengenalan moral tinggi. Ketaatan terhadap adat istiadat menjadi pengendali segala aspek kehidupan masyarakat Tengger.

Masyarakat Tengger adalah masyarakat yang terbuka terhadap perubahan tanpa meluluhkan adat istiadat yang sudah ada. Kondisi ini tercermin dari masih dipegangnya aturan-aturan adat di tengah maraknya pengembangan kawasan Bromo sebagai destinasi wisata. Pembangunan hotel serta membanjirnya wisatawan dari luar daerah dan mancanegara tak lantas membuat masyarakat lupa akan tradisi.

Senin, 11 April 2016

Senja Seorang Aremanita

Tak ada kata lelah dan usia senja buat seorang suporter setia. Kira-kira perasaan semacam itulah yang bisa dilihat dari sosok Supraptiningsih. Ia adalah Aremanita yang kini berusia 60 tahun. Di kalangan suporter Arema Malang, ia dikenal dengan sapaan Titik Arema.

Kala usia sudah menatap senja, kecintaan Supraptiningsih kepada klub kesayangan kota Malang tak pernah luntur tergerus waktu. Dengan berbekal sepeda, ia rela mancal sejauh delapan kilometer. Mancal ini merupakan istilah populer orang Malang untuk aktivitas mengayuh sepeda.

Supraptiningsih mengaku mancal sepeda dari Lowokdoro dari pukul 08.30 WIB. Lalu sekitar pukul 11.30 WIB, nenek empat cucu ini ternyata sudah terlihat membaur ceria bersama ribuan Aremania yang menyambut para pemain Arema di Pendopo Kabupaten Malang.

Sambutan Aremania ini dilakukan menyusul keberhasilan skuat Singo Edan itu menjadi juara Piala Bhayangkara, Ahad (3/4) malam. Pada laga final yang dihelat di Stadion Gelora Bung Karno Senayan Jakarta, Arema sukses membungkam Persib Bandung 2-0.

Dari turnamen tersebut, Arema tak hanya memboyong trofi juara Piala Bhayangkara saja. Bek kiri Arema Cronus, Ahmad Alfarizie, diganjar pula predikat bergengsi sebagai pemain terbaik. Tentunya, terasa lengkap kegembiraan Aremania saat menyambut kedatangan tim kesayangannya di kota Apel tersebut.

"Karena tidak bisa menyaksikan pertandingan ke Jakarta, saya hanya bisa ikut menyambut mereka di Malang saja. Saya bahagia," kata nenek Supraptiningsih.

Suasana pendopo Kabupaten Malang saat menyambut kedatangan tim Arema Cronus. Foto: dok. pribadi

Di antara sesaknya Aremania yang memadati Pendopo Kabupaten, sosok Supraptiningsih sesesungguhnya tak terlalu mencolok perhatian. Layaknya suporter lain, ia juga mengenakan kaos berwarna biru yang menjadi atribut Arema. Kepalanya terlihat ditutupi topi berwarna putih.

Walau usianya sudah menatap senja namun semangatnya tetap membara dalam memberi dukungan. Teriaknya samar-samar terdengar di antara keriuhan suporter lainnya. "Maitimo... Maitimo...," teriak Titik saat mobil jip rombongan pemain memasuki halaman pendopo. "Srdan Lopicic ganteng ya," ucapnya lagi memuji gelandang serang Arema Cronus.

Meski teriakannya tak terdengar lantang serta tak ada satupun pemain yang menoleh kepadanya namun tidak membuat Supraptiningsih menjadi berkecil hati. Hatinya tetap seteguh baja yang telah ditempa waktu.

Tangannya yang terlihat hitam juga masih mampu terkepal keras ke udara untuk memberi sokongan pada para rombongan pemain Arema. ''Arema....,'' pekiknya kembali dari kejauhan dengan penuh bangga. Inilah sebuah kesetiaan tak terbatas waktu yang sudah ditunjukkan oleh sosok wanita tua penggemar Arema.



*Tulisan ini adalah hasil editan redaktur di kantor berdasarkan liputan yang saya lakukan. Ia datang membawa pisau bedah dan mengoperasi artikel saya yang amburadul menjadi lebih enak dibaca. Terima kasih, bang!

Kamis, 04 Februari 2016

Wayang Orang Belum Mati


Suatu malam di Kota Batu, Kwee Kiat Siang diajak kakeknya menonton wayang orang. Bocah berusia tujuh tahun itu lalu terpukau pada setiap adegan dan cerita yang dimainkan dalam pertunjukan tersebut. Ia kemudian rajin menonton setiap kali ada pertunjukan wayang orang di kotanya. Tatkala beranjak remaja Kwee Kiat Siang alias Sita Dewi Kusumawati bergabung dengan perkumpulan sandiwara Ratna (Rukun Amatir Teater) di Malang. Kini di usianya yang ke 74, Sita masih dikenal sebagai pegiat wayang orang yang terkenal di seantero Malang.

Usia senja tak menghalangi Sita untuk terus berkarya. Di tengah derasnya arus budaya barat yang masuk ke tanah air, wanita keturunan Tionghoa ini masih bersetia melanggengkan kesenian asli Jawa. Hanya satu yang menjadi kekhawatiran nenek lima cucu ini. “Anak muda zaman sekarang tidak banyak yang berminat pada wayang orang, kalaupun ada yang bisa bermain wayang orang penghayatan mereka kurang bagus,” kata Bu Rudy, sapaan akrab Sita saat ditemui di rumahnya akhir pekan ini.

Bu Rudy berkisah sejak muda ia memang menggandrungi wayang orang. Tiga anak hasil pernikahannya dengan alm. Rudyanto Rama Wijaya juga ia kenalkan pada seni tradisi Jawa. Anak perempuan semata wayangnya, Irene Kartika Widjaja, pada 1977 berkesempatan tampil di Ang Hien Hoo. Ang Hien Hoo adalah wadah bagi warga Tionghoa di Malang untuk berkumpul dan mengadakan berbagai kegiatan mulai dari olah raga hingga seni. Wayang orang inilah yang menjadi andalan dari Ang Hien Hoo. Irene menjadi bintang yang bersinar di Ang Hien Hoo dan kerap mewakili Indonesia sebagai duta seni di mancanegara.

Pada 1978 Bu Rudy bergabung dengan Ang Hien Hoo yang pada saat itu sudah berganti nama menjadi Wayang Orang Panca Budhi. Di organisasi itu ia bertindak sebagai manajer. Hampir seluruh anggota klub wayang orang adalah warga keturunan Tionghoa. Mereka fasih memainkan wayang orang dengan logat seperti pribumi.

Sayangnya sedikit demi sedikit anggotanya mengundurkan diri sehingga Panca Budhi hanya tinggal nama tanpa personil. Setelah bertahun-tahun vakum, Bu Rudy kemudian berinisiatif mendirikan sanggar baru dan diberi nama Bara Pratama. Bara Pratama tak ubahnya Panca Budhi yang mengalami reinkarnasi. Bu Rudy pun sukses membangunkan kembali kejayaan wayang orang di bumi Arema. Lakon-lakon yang biasa dimainkan mengambil dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Setiap penampilan Bara Pratama selalu diacungi jempol.

Bu Rudy dan koleksi kostum wayang orang miliknya. Bu Rudy menunjukkan mahkota yang dipakai untuk memerankan tokoh Ken Arok.
Berpuluh tahun menggeluti dunia wayang orang, Bu Rudy dan keluarganya tak jarang menuai cibiran dari masyarakat. Alasan utamanya adalah statusnya sebagai warga keturunan. “Kata mereka wayang orang kan kesenian Jawa ngapain orang Tionghoa ikut-ikut,” jelasnya.
Anaknya, Irene, yang kerap kali menjuarai lomba seni juga harus menerima sindiran. “Wah kita kecolongan, masa ada C yang menang, C itu artinya Cina,” kata Bu Rudy menirukan sindiran peserta lain sembari terkekeh.

Walau demikian, sampai saat ini semangat Bu Rudy menghidupkan kesenian wayang orang tak pernah surut. Ia masih menjadi pembina sanggar yang setiap akhir pekan berlatih di Klenteng Eng An Kiong. Ia juga menyediakan berbagai properti untuk keperluan pementasan.

Empat kamar di rumahnya yang berisi kostum pertunjukan wayang orang menjadi bukti cinta Bu Rudy pada kesenian tradisional ini. Total seluruh kostum pementasan di empat kamar tersebut bernilai sekitar Rp 600 juta. Semua koleksi itu dibeli dari kantung sendiri. “Saya tidak tahu kenapa bisa suka wayang orang, ya tahu-tahu suka, mungkin karena cerita-ceritanya yang selalu mengajarkan kebaikan,” ungkap wanita yang mempunyai usaha catering ini.

Pada 22 Februari mendatang sanggar asuhan Bu Rudy akan tampil dalam perayaan Cap Go Meh di Kota Malang. Lakon yang akan ditampilkan adalah Anoman Obong. “Ayo silakan semua boleh menonton gratis,” ucapnya berpromosi.

Pesatnya globalisasi menjadikan wayang orang seolah hanya kesenian usang di kalangan anak muda. Waktu terus berputar dan para personil di sanggar binaannya semakin menua. Bu Rudy hanya bisa berharap akan muncul bibit-bibit muda yang mumpuni memerankan lakon wayang orang sebelum kesenian ini hilang terkikis zaman.

Senin, 25 Januari 2016

Nafas Tari Jawa Timur di Ibukota

Tiga puluh lima penari berusia belia berbagi panggung di Gedung Kesenian Gajayana, Malang. Dengan gerakan yang bergerak dinamis dari gemulai hingga menghentak mereka menyihir ratusan penonton yang memadati gedung di Jalan Nusakambangan itu. Di akhir pertunjukan, riuh rendah tepukan penonton membahana memenuhi ruangan.

Pada Ahad (23/1) Sanggar Tari Anjungan Jawa Timur TMII sengaja menyambangi Malang untuk menampilkan sendratari Calon Arang. Sebelumnya Sanggar Anjungan Jatim telah mementaskan sendratari di Taman Budaya Surabaya pada Sabtu (23/1).

Mereka hadir berkat kerja sama yang terjalin antara Dinas Pariwisata Kota Malang dan Sanggar Tari Senaputra. Sendratari ini mengangkat judul "Giri-Gora Dahuru Daha" yang artinya Gonjang-Ganjing di Daha. Para penari yang tampil hari ini merupakan anggota sanggar yang berasal dari Jakarta.

Anjungan Jawa Timur di TMII memang memiliki sanggar kesenian yang pengelolaannya di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Sanggar ini menjadi wadah untuk memperkenalkan kesenian Jawa Timur di tengah serbuan budaya perkotaan yang serba modern dan instan.

Sutradara sendratari, Heri Suprayitno mengatakan dipilihnya cerita rakyat Calon Arang karena sesungguhnya cerita ini berakar dari Kerajaan Kahuripan di Kediri. "Dalam benak saya Pulau Jawa dan Bali pada zaman dahulu bukan merupakan pulau yang terpisah, maka tak heran Calon Arang ini dapat berkembang di Bali," ujarnya saat ditemui sebelum pementasan.

Pelatih dan para penari berdoa sebelum naik panggung. Sayangnya karena kamera HP saya tidak memadai maka hasil jepretan mereka ketika tampil sangat buruk dan tidak layak jika dimuat.
Heri yang sehari-hari menjadi pelatih tari di sanggar Anjungan Jatim menuturkan animo warga Jakarta untuk mempelajari kesenian Jawa Timur cukup menggembirakan. Para penampil yang diboyong ke Malang ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan anggota sanggar. Anak-anak didik yang belajar di sanggar pun tak pernah lepas dari prestasi.

Bergairahnya sanggar tersebut tak lepas dari keseriusan Pemprov Jatim dalam pengelolaannya. Sehari-hari sanggar ini diampu empat guru tari yang mengajarkan berbagai jenis tarian Jawa Timur. "Sanggar ini adalah satu-satunya tempat diklat di TMII yang dikelola dengan baik oleh pemprov dibandingkan anjungan-anjungan yang lain," kata alumnus Jurusan Pariwisata UNS ini.

Ketua anjungan tari Jatim di TMII, Samad Widodo mengungkapkan harapannya terhadap keberadaan sanggar. "Sanggar ini memperkenalkan tarian Jawa Timur agar bisa tumbuh dan berkembang di Jakarta," ucapnya.

Seorang peserta sanggar bernama Elita Damayanti Putri mengungkapkan ketertarikannya pada seni tari sudah tumbuh sejak kecil. Elita yang pada pementasan ini berperan sebagai anak Calon Arang bernama Ratna Manggalih mengaku sering mengikuti lomba-lomba kesenian khas Jawa Timur. Gadis asli Jakarta ini pernah menjadi juara 1 lomba tari pada Festival Reog dan juara 1 Festival Selaras Pinang Masa.

Perkenalannya dengan tarian Jawa Timur dimulai sepuluh tahun silam. Saat ia duduk di bangku kelas 2 SD, orang tuanya memasukkannya ke sanggar tari Anjungan Jatim. Kebetulan lokasi sanggar tak jauh dari tempat kerja sang ayah. "Menari dapat melatih kepekaan pikiran dan perasaan," kata gadis yang kini duduk di kelas 3 SMA ini.

Minggu, 24 Januari 2016

Omah Munir Melawan Lupa

Rumah di Jalan Bukit Berbunga 2 Kota Batu, Malang itu nampak sederhana. Bagian depan rumah dibatasi pagar besi berwarna putih. Sepetak taman mungil dengan pohon palem menyambut siapapun yang datang ke rumah tersebut. Di bagian depan rumah tertera tulisan "Omah Munir".

Omah dalam bahasa Jawa berarti Rumah. Omah Munir merupakan rumah milik Suciwati Munir, istri almarhum aktivis HAM Munir. Suciwati sengaja menyulap hunian tersebut menjadi museum untuk mengenang sepak terjang sang suami. Meski Munir telah tiada namun dengan adanya Omah Munir kisah perjuangannya tak akan lekang oleh waktu.

Tampak depan Omah Munir

Munir lahir di Malang 8 Desember 1965. Omah Munir diresmikan tiga tahun silam bertepatan dengan tanggal lahirnya yakni 8 Desember 2013. Di rumah yang luasnya setengah lapangan futsal itu dipajang berbagai memorabilia milik Munir. Omah Munir dibagi menjadi tujuh bagian. Bagian-bagian rumah meliputi kantor pusat dan informasi, ruang utama display perjuangan munir, ruang kisah Munir dan Kontras, ruang koleksi dan peristiwa, dinding kisah Munir dan keluarga, ruang baca dan //meeting room//, serta kafe dan toko souvenir.

Ketika memasuki pintu rumah, pengunjung dapat melihat meja kerja Munir tatkala ia menjadi pejuang kemanusiaan di LBH Surabaya. Kadang meja itu menjadi tempat tidur Munir saat malam hari. Berkeliling Omah Munir kita dapat menebak bahwa semasa hidup ia adalah aktivis yang cerdas namun sederhana. Sederet penghargaan dari dalam dan luar negeri dialamatkan kepada Munir atas jasa-jasanya dalam penegakan HAM di tanah air.

Salah satu sudut di Omah Munir
Kesederhanaan alumnus Universitas Brawijaya tersebut tercermin dari benda-benda yang dipamerkan di Omah Munir. Tidak ada kemewahan dari barang-barang pribadi Munir. Sehari-hari ia gemar mengenakan jaket kulit yang sudah berlubang di beberapa titik dan kaos oblong. Kemeja, sepatu usang, dan jam tangan yang mayoritas berwarna hitam juga jauh dari kesan mewah. Penampilan Munir yang sangat membumi ini seolah menyatakan keberpihakannya kepada //wong cilik//. Sejak bergabung dengan LBH Surabaya, Munir memang menaruh minat pada advokasi buruh.

Naas, perjuangan anak dari Said Thalib dan Jamilah ini harus berakhir karena ia meninggal setelah meminum kopi yang dibubuhi arsenik. Ia diduga diracun saat singgah di Coffee Bean Bandara Changi Singapura pada 7 September 2004. Munir meninggal sekitar pukul 10.00 saat pesawat berada di langit rumania.

Sepatu usang ini sehari-hari menemani alm. Munir beraktivitas
Pada hari-hari biasa Omah Munir memang tak ramai pengunjung. Namun secara berkala di tempat ini sering diadakan diskusi dan pemutaran film mengenai HAM. Peminatnya pun membludak dan didominasi mahasiswa. Seorang pengunjung bernama Putra Dwi Aditya mengatakan keberadaan Omah Munir sangat bermanfaat bagi para generasi muda untuk lebih mengenal Munir. Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional UNS ini mengungkapkan selama ini ia memang tertarik pada sosok Munir. "Saya diberitahu teman mengenai Omah Munir dan ketika berkunjung ke Malang saya sempatkan ke sini," katanya saat ditemui pada Kamis (21/1).

Namun menurut Putra keberadaan Omah Munir kurang mencolok dan masih kurang terpublikasi. Putra menjelaskan di antaranya teman-teman kampusnya masih banyak yang belum tahu Omah Munir. Padahal museum ini sangat baik sebagai sarana edukasi sekaligus sebagai tanda perlawanan menolak lupa pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum tuntas.

Selasa, 29 Desember 2015

Burung Surga yang Belum Diterima

Jelang akhir 2015, Kementerian Pemuda dan Olahraga merilis maskot yang akan digunakan dalam perhelatan ASIAN Games 2018. Dalam gelaran akbar tersebut pemerintah mengambil tokoh burung cendrawasih yang mengenakan pakaian pencak silat sebagai representasi dari Indonesia.

Bird of Paradise. Photo taken from Pinterest.

Alih-alih mendapat pujian, maskot bernama Drawa itu justru mendulang kritikan dari berbagai lapisan masyarakat.

"Desain maskot Asian Games yang jadul itu mungkin cermin betapa kakunya aturan birokrasi." -Wicaksono-
(@ndorokakung)

Menciptakan maskot memang tidak mudah, ada filosofi-filosofi tertentu yang terkandung dalam suatu karakter sehingga ia dipilih menjadi maskot. Akan tetapi pertimbangan filosofis bukan berarti mengesampingkan estetika. Dari waktu ke waktu desain maskot bikinan Indonesia selalu terkesan kurang 'mbois' dan kurang 'cute'.

Cuitan itu hanyalah satu dari membludaknya komentar soal Drawa. Munculnya kritikan atas burung khas Papua itu sangat beralasan mengingat tampilan Drawa yang terkesan jadul dan seadanya. Warna maskot ASIAN Games 2018 bisa dibilang kusam dan muncul dengan pose serta mimik wajah yang kaku. Tiap bagian tubuh Drawa hanya diblok satu warna yang monoton. Saya pun ketika pertama kali melihat Drawa, bingung menafsirkan sosok apakah ia. Antara ayam atau burung antah berantah.

Drawa seperti dibuat oleh seorang desainer di era 1950-an kemudian dikirimkan ke 2015 menggunakan mesin waktu. Tatkala membaca berbagai hujatan yang beredar di linimasa, mungkin sang pencipta maskot tengah teriris-iris hatinya. Namun apa mau dikata memang si Drawa ini tidak kekinian sama sekali. Desain maskot Olympiade 1980 di Rusia pun jauh lebih futuristik dibandingkan Drawa padahal keduanya berasal dari era yang berbeda. Di ranah instagram, komentar-komentar yang dialamatkan pada maskot yang baru lahir ini bahkan jauh lebih sadis. Ada yang mengomentari mirip maskot Chiki dan ada yang bilang si Drawa seperti banner penjual ayam goreng. Netizen lain ada yang cukup mengeluarkan satu kata namun langsung menghujam ulu hati: pathetic. Apes benar nasib Drawa, padahal ia baru diluncurkan pada 27 Desember 2015 oleh Wapres Jusuf Kalla.

Drawa dianggap gagal menunjukkan keindahan burung cendrawasih yang kerap dijuluki bird of paradise. Banyak pihak kemudian membanding-bandingkan dengan maskot ASIAN Games pada tahun-tahun sebelumnya.

Masyarakat bertanya-tanya mengapa pemerintah selalu terpaku pada selera yang itu-itu melulu. Padahal, Indonesia dipenuhi talenta-talenta muda nan penuh ide. Saya memang bukan desainer grafis. Saya hanyalah orang awam yang penasaran apa susahnya bagi pemerintah/panitia ASIAN Games 2018 menunjuk seorang desainer berbakat? Toh Indonesia tidak kekurangan orang-orang kreatif. Ambil contoh, Bayu Santoso yang desainnya berhasil dipilih menjadi cover album Maroon 5 untuk album "V".

Saya yakin kreativitas orang-orang Indonesia tidak kalah dari negeri sebelah yang jago bikin maskot lucu-lucu. Orang-orang kreatif cuma perlu diberi kesempatan untuk unjuk gigi menampilkan karya terbaiknya.

Kasus Drawa mengingatkan kita pada kasus pembuatan logo kota Yogyakarta pada Oktober 2014. Kala itu kehadiran logo baru dianggap terlalu absurd dan menjadi bahan candaan netizen. Huruf-huruf yang harusnya terbaca "JOGJA" malah lebih banyak diplesetkan menjadi "TOGUA". Dari segi estetika, logo baru "TOGUA" pun tidak menarik sama sekali. Gelombang protes menyerang logo baru tersebut. Alhasil pemda cepat-cepat merevisi logo Kota Gudeg ini.

Dalam kasus Drawa, untungnya Menpora Imam Nahrawi membuka celah untuk merevisi bentuk si Drawa. Setidaknya masyarakat Indonesia dapat bernafas lega dapat terhindar dari potensi dicibir bangsa-bangsa lain terkait maskot tersebut. Kita tentu saja tidak ingin mendengar orang asing melempar tanya, "Hey man, what the hell is that?" "Cendrawasih? Are you kidding me?"

Pedih lah ya.