Jangan Berjanji di Kaki Bromo
Hari Lentho memeras otak merancang pementasan Sendratari Roro Anteng dan Joko Seger. Tari yang dipentaskan pada malam upacara Yadnya Kasada itu ia persiapkan dua bulan lamanya. Sebanyak 43 anak-anak Suku Tengger dilibatkan dalam sendratari yang mengisahkan asal usul ritual Yadnya Kasada. “Tidak boleh ada satu adegan pun yang dihilangkan dalam alur cerita, semua harus ditampilkan utuh,” terang seniman asal Surabaya itu. Pemeran anak-anak Roro Anteng dan Joko Seger juga harus genap 25 anak. Tidak boleh kurang apalagi lebih.
Kasada adalah
upacara wajib yang pantang ditinggalkan masyarakat Suku Tengger. Upacara ini
merupakan perwujudan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi atas limpahan rezeki
yang telah mereka terima. Tanah di sekujur Bromo memang terkenal sebagai tanah
yang kaya unsur hara. Segala macam tanaman buah dan sayur tumbuh subur memberi
hasil panen yang menggembirakan.
Itulah
sebabnya meski Gunung Bromo tengah erupsi dan berstatus Waspada sejak lima
bulan terakhir, kondisi itu tak
menghalangi digelarnya Kasada. Kasada adalah entitas masyarakat Tengger yang terus
dilestarikan.
Nilai-nilai hakiki
masyarakat adat Tengger, menurut Hari, tertuang dalam sendratari Roro Anteng
dan Joko Seger. Tugas utamanya adalah menyampaikan nilai-nilai moral dalam
pementasan berdurasi 30 menit. Nilai menonjol yang harus dicontoh dari suku
Tengger adalah menyatunya perilaku, ucapan, dan hati. “Masyarakat Tengger dilarang
berjanji karena kisah Roro Anteng dan Joko Seger berawal dari janji yang tidak
ditepati,” ujar Hari berkisah usai pementasan.
Bagi masyarakat Tengger, menyatunya hati, ucapan, dan pikiran adalah nilai hidup yang tak bisa ditawar. Foto: AFP/Juni Kriswanto |
Selama enam tahun
membersamai masyarakat Tengger, seniman tari ini menyerap banyak kearifan
lokal. Pernah ketika hendak pulang ke Surabaya, ia berkata akan kembali lagi ke
Desa Ngadisari, desa terujung yang paling dekat dengan puncak gunung. Warga
setempat buru-buru mengingatkan agar Hari meralat ucapannya. “Jangan berjanji,”
ucapnya menirukan nasihat warga desa.
Demikian pula pada persiapan sendratari kali ini. Hari memastikan
tak ada satu adegan pun dari legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang ia
pangkas. Penyampaian kisah yang utuh dimaknai sebagai pesan agar siapapun
senantiasa menyampaikan kebenaran secara menyeluruh.
Beberapa waktu
silam, Gunung Bromo sempat bergejolak dan memuntahkan hujan abu. Konon,
masyarakat adat Tengger meyakini kehadiran rombongan mahasiswa KKN dari sebuah
perguruan tinggi menjadi penyebab Bromo rewel. Mahasiswa mengajarkan anak-anak
sendratari namun menghilangkan adegan pernikahan Roro Anteng dan Joko Seger.
Sendratari Roro Anteng dan Joko Seger pada Kasada 20 Juli 2016. Foto: dokumentasi pribadi |
Vina Salviana dalam
buku Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger
menjelaskan konsep hidup masyarakat adat Tengger. Konsep hidup masyarakat adat
Tengger adalah mengikuti ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti panca setya.
Ajaran tersebut meliputi setya budaya (taat, tekun, mandiri), setya wacana
(setia pada ucapan/perkataan), setya semaya (setia/menepati janji), setya
laksana (patuh dan taat), dan setya mitra (setya kawan). Ajaran ini sangat
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat adat Tengger.
Perilaku dan
tindakan anggota masyarakat adat Tengger selalu diusahakan tidak melanggar adat
istiadat dan aturan-aturan yang ada. Adapun aturan-aturan yang harus ditaati
adalah tidak menyakiti atau membunuh binatang kecuali untuk korban dan dimakan,
tidak mencuri, dan tidak berdusta. Tidak melakukan perbuatan jahat dan tidak
minum minuman yang memabukkan.
Penulis lain dalam
buku yang sama, Muhammad Hayat, mengemukakan ritual-ritual yang dilakukan
masyarakat adat Tengger pada dasarnya adalah keinginan mereka agar alam tidak
murka. Bagi mereka, kebutuhan agar tetap bertahan hidup yang bisa menyediakan
adalah alam. Maka secara ekonomis tindakan rasional yang harus dilakukan adalah
menyeimbangkan diri dengan alam.
Akibat ditegakkannya
nilai-nilai luhur dan adat istiadat, angka kriminalitas di kalangan Suku
Tengger mencapai nol persen. Maka jangan heran jika kabar kejahatan tak pernah
berembus di lingkungan desa suku Tengger. “Jika ada yang melanggar aturan
dipercaya akan memperoleh karma,” kata petinggi Desa Ngadisari, Supoyo. Karma
apa yang akan diperoleh, tidak ada yang mengetahui secara pasti. Supoyo
mengatakan karena patuhnya masyarakat Tengger, ia belum pernah mendapati ada warga
desanya yang terkena karma.
Dinginnya hawa di Bromo membuat masyarakat tak bisa lepas dari sarung dan penutup kepala. Foto diambil dari sini |
Kekeramatan Gunung
Bromo diawali dari cerita Roro Anteng dan Joko Seger. Alkisah, pasangan suami
istri yang merupakan keturunan Kerajaan Majapahit ini memohon kepada Tuhan agar
diberikan keturunan. Usia pernikahan mereka yang sudah berlangsung lama terasa gersang
tanpa kehadiran buah hati.
Setelah berulang
kali berdoa dan bersemedi, Tuhan mengabulkan permintaan pasangan ini. Namun ada
satu syarat yang harus dipenuhi. Roro Anteng dan Joko Seger harus
mempersembahkan anak terakhir mereka ke kawah Gunung Bromo. Keduanya
menyanggupi syarat tersebut dan pasangan ini dikaruniai 25 anak. Sesuai janji
yang sudah mereka ucapkan sebelumnya, anak terakhir yang bernama Kusuma harus
dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.
Namun selayaknya orang
tua, suami istri ini tak sampai hati merelakan anaknya dikorbankan ke kawah.
Roro Anteng dan Joko Seger mengingkari janjinya. Keingkaran ini harus dibayar
mahal. Sekonyong-konyong Gunung Bromo memuntahkan lava dan menimbulkan bencana.
Langit diselimuti awan mendung disertai kilat yang tak berhenti menyambar. Roro
Anteng dan Joko Seger bersimpuh ketakutan di lautan pasir memohon ampun kepada
Sang Hyang Widhi atas kelancangan mereka.
Petir lantas menjilat
tubuh Kusuma dan melemparkannya ke kawah Bromo. Bersamaan dengan lenyapnya
Kusuma terdengarlah suara gaib. “Saudara-saudaraku, aku telah dikorbankan oleh
orang tua kita dan Sang Hyang Widhi untuk menyelamatkan kalian semua. Hiduplah
dengan damai dan sembahlah Sang Hyang Widhi. Aku ingatkan agar kalian
mengadakan sesaji berupa hasil bumi setiap hari ke-14 bulan Kasada sebagai
persembahan kepada Sang Hyang Widhi ke kawah Gunung Bromo,” demikian ucapan
Kusuma sebagaimana diyakini masyarakat adat Tengger.
Upacara Yadnya Kasada tak boleh ditinggalkan meski Gunung Bromo tengah batuk-batuk. Foto diambil dari situs ini. |
Cerita Roro Anteng
dan Joko Seger dipercaya sebagai asal usul masyarakat Tengger. Jumlah keturunan
Roro Anteng dan Joko Seger terus bertambah dan menghuni perdesaan di Kaki
Gunung Bromo. Secara administratif
masyarakat Tengger tersebar di empat kabupaten yaitu Probolinggo,
Pasuruan, Malang, dan Lumajang. Desa paling tinggi dan paling dekat dengan
kawah Bromo adalah Desa Ngadisari di Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo.
Kata Tengger ini sekaligus mengandung makna Tenggering Budi Luhur alias
pengenalan moral tinggi. Ketaatan terhadap adat istiadat menjadi pengendali
segala aspek kehidupan masyarakat Tengger.
Masyarakat Tengger
adalah masyarakat yang terbuka terhadap perubahan tanpa meluluhkan adat
istiadat yang sudah ada. Kondisi ini tercermin dari masih dipegangnya
aturan-aturan adat di tengah maraknya pengembangan kawasan Bromo sebagai
destinasi wisata. Pembangunan hotel serta membanjirnya wisatawan dari luar
daerah dan mancanegara tak lantas membuat masyarakat lupa akan tradisi.