Sepasang Manusia Gerobak
Kata mentor saya, untuk belajar membuat tulisan yang baik seorang penulis harus melakukan riset dan menyelami materi yang akan ditulis. Suatu hari, saya diminta mencari manusia gerobak. Manusia gerobak adalah sebutan bagi mereka yang sehari-hari tinggal di dalam gerobak dan bekerja sebagai pemulung. Mentor saya yang bertubuh subur itu ingin agar anak didiknya mendalami kehidupan kaum marjinal perkotaan.
“Ikuti
seharian penuh,” ujarnya menginstruksikan.
“Dan
cari yang sudah berkeluarga,” imbuhnya.
Waduh,
di mana coba saya nyari mereka? Masalahnya lagi, apa mereka mau kalau saya
ikuti sepanjang hari?
“Kamu
harus makan bareng mereka,” tambahnya lagi.
“Kalau
mereka nggak mau diikuti gimana mas?” tanyaku.
“Kamu
buat dong biar mereka mau, terserah gimana caranya,” katanya mengetok palu.
Besoknya,
saya sudah beredar di tengah kota mencari para manusia gerobak. Setelah muter
ke sana kemari di siang yang terik, akhirnya saya menemukan sasaran yang
dicari. Pasangan pemulung yang saya taksir berusia sekitar 45-50 tahunan. Dan
inilah yang bisa saya ceritakan.
***
Matahari
tepat berada di atas kepala ketika saya menyambangi kawasan Menteng yang elit.
Meski hawa Jakarta panas luar biasa namun rimbunnya pepohonan mampu meneduhkan
suasana. Di ujung Jalan Cendana saya bertemu dengan sepasang suami istri
pemulung. Sebut saja Usman dan Rofiati.
Usman
sedang menyantap makan siang ketika saya mengajaknya berkenalan. Sejenak ia
menghentikan kegiatannya dan kami saling memperkenalkan diri. Sadar bahwa ia
belum menuntaskan makannya saya pun mempersilakan Usman menikmati kembali
santap siangnya.
Menu
Usman siang ini sederhana saja. Ia menikmati nasi putih yang disiram kuah
santan. Makannya lahap meski hanya ditemani lauk tempe. Usman membeli makan siang
pada penjual nasi langganannya yang saat itu mangkal di Jalan Cendana.
Tatkala
Usman makan, Rofiati mencuci baju di seberang jalan. Istrinya mencuci tepat di
depan proyek pembangunan sebuah rumah. Rofiati memanfaatkan air yang mengalir
dari selang proyek untuk mencuci baju-baju mereka. Selesai mencuci Rofiati
lapar juga. Ia memesan nasi kepada sang penjual namun nasi bungkus ternyata
telah habis. Wanita itu menggumam kecewa. Sebagai ganti, ia membeli empat tempe
goreng seharga dua ribu rupiah sebagai pengganjal perut.
Ujung
Jalan Cendana tengah hari ini semarak. Selain kehadiran keluarga Usman dan
pedagang nasi, datang pula satpam kompleks dan tukang rongsokan. Kelompok kecil
ini terlibat perbincangan akrab sesekali diselipi guyonan. Setiap topik
pembicaraan selalu bermuara pada tema yang sama, politik. Gaung pemilihan
presiden sudah menyebar dari perdebatan serius di televisi hingga obrolan kelas
pekerja di bawah pohon mangga.
“Eh elu presiden milih siapa?” tanya
penjual nasi kepada teman-temannya.
Si
satpam hanya diam. Ia khusyuk mengunyah gorengan dan tak memedulikan pertanyaan
kawannya. Tukang rongsok menyahut, ”Gak
kenal semua, lagian gak dapet duit
juga, hahaha...”
Belakangan
terjadi debat ala akar rumput antara tukang nasi dan tukang rongsok. Keduanya
mempersoalkan siapa di antara Prabowo dan Jokowi yang lebih berhak memimpin
negeri ini. Tukang nasi bersikukuh membela Prabowo. Tukang rongsok merasa tak
perlu ambil pusing siapa yang harus ia pilih nanti.
Usman
dan Rofiati tak bisa berlama-lama mengobrol. Mereka harus kembali memulung.
Waktu rehat yang nikmat harus diakhiri. Usman mengajak Rofiati beranjak pergi.
Setelah menyerahkan dua lembar lima ribuan lusuh ke tukang nasi, mereka
berjalan menjauh dari kerumunan kecil itu.
Usman,
dengan tenaganya yang utuh, menarik gerobak. Tubuhnya dibalut kemeja hijau
lengan panjang dan celana pendek warna coklat. Kulit Usman yang legam terlihat
semakin suram karena bajunya lusuh dan warnanya mulai memudar. Giginya
menguning karena tak pernah tersentuh pasta gigi. Bau keringat Usman yang
bercampur dengan panas matahari membuatnya aroma tubuhnya seperti besi
berkarat.
Rofiati
mengikuti dari belakang sambil memanggul karung. Kulit Rofiati hitam seperti suaminya.
Ia melilit pinggangnya dengan sarung pantai putih sebatas betis. Kaos lengan
pendek warna merah ditabrakkan dengan kerudung oranye menyala yang membelit
kepala. Kerudung itu hanya diikat sekenanya di bawah dagu dan menampakkan
lehernya yang penuh daki.
Sambil
berjalan, Rofiati mulai bercerita. Jika malam tiba, ia dan suaminya menuju
Gondangdia. Di bawah lampu jalan mereka melewatkan ribuan malam. Gerobak sampah
Usman adalah separuh hidupnya. Kotak yang terbuat dari kayu dan seng itu adalah
harta berharganya. Selain sebagai tempat menyimpan hasil memungut, gerobak itu
juga menjadi tempat tidur di kala malam.
Tak
ada kamar apalagi rumah yang mampu mereka sewa. Dengan penghasilan mereka tak
menentu, berat mengeluarkan uang 300 atau 400 ribu untuk menyewa kos. Tidur
beratapkan langit tanpa bantal apalagi selimut sudah mereka lakoni lebih dari
satu dekade. Ukuran gerobak yang tak seberapa besar hanya mampu memuat Rofiati.
Tak jarang Rofiati harus tidur di gerobak berbagi tempat dengan sampah yang
dipungut.
Usman
memilih tidur di samping gerobak beralaskan karton. Keadaan menjadi runyam
manakala turun hujan. “Gerobak kita ada tutup plastiknya jadi kalau hujan ibu
bisa terlindung. Kalau bapak mengungsi ke pinggiran pos satpam. Biasanya masih
ada bagian di luar bangunannya yang tidak kena hujan,” beber Rofiati.
Sepasang
suami istri ini berasal dari Jember, Jawa Timur. Setiap hari Usman dan Rofiati menempuh belasan kilometer mengais sampah
dengan berjalan kaki. Alas kaki mereka hanya sandal jepit tipis yang ringkih.
Tali pengait sandal bisa putus hanya dengan sekali sentak.
Sepanjang
siang yang terik ini mata mereka teliti memeriksa setiap jengkal jalan. Berharap
menemukan sampah yang laku dijual. Tak lupa mereka mengais setiap tong atau bak
sampah yang dilewati. Rofiati bilang, plastik bekas air mineral dijual seharga
Rp 4.000,00-Rp 5.000,00/kg. Kertas HVS dan kertas kardus dihargai Rp
1.000,00-Rp 1.500,00/kg sementara untuk besi-besi tua Rp 2.000,00/kg.
Rofiati
bergerak lincah memungut setiap sampah yang dibuang sembarangan. Kawasan komunitas
berpagar seperti Menteng adalah salah satu daerah penyumbang sampah terbanyak. Tiap
hari tumpukan sampah rumah tangga dihasilkan oleh kaum berduit. Kondisi ini menjadi
surga buat Usman dan Rofiati.
Sepanjang
perjalanan, Usman kerap berhenti untuk menyeka hidungnya dengan daster lusuh
yang tergantung di gerobak. Kata Rofiati, suaminya sedang flu. Langkah Rofiati
mendadak terhenti. Dipungutnya benda kecil berkilauan di pinggir trotoar.
Dengan raut wajah bersinar ia menunjukkan benda yang ditemukannya barusan.
Selingkar uang logam seratus rupiah. “Lumayan mbak dikumpulkan bisa buat uang
jajan anak di kampung,” kata wanita itu.
Pukul
14.00 WIB perjalanan sampai di Jalan Lembang. Pasangan ini memutuskan untuk
berhenti sejenak. Mereka perlu menata dan membersihkan hasil pungutan mereka
sebelum dijual ke pengepul. Sampah hasil memulung dimuntahkan dari dalam
gerobak. Gelas, botol plastik, kardus, hingga tudung saji bekas terhampar di
trotoar.
Bau
sampah menyeruak namun Usman dan istrinya tak tampak terganggu dengan hal itu.
Sampah-sampah yang terkumpul dipisahkan menurut jenisnya. Cukup lama pasangan
itu memilah dan memilih sampah. Tangan mereka yang keriput terlihat kotor.
Mendadak
Rofiati ingat dia masih menyimpan gorengan di dalam gerobak. Ia mencuci
tangannya dengan air yang ia bawa dalam botol plastik ukuran 1,5 liter. Air
yang dipakai mencuci tangan nampak keruh. Entah karena penampakan botolnya yang
sudah buluk atau memang dasar airnya keruh. Yang jelas Rofiati tak nampak jijik
sedikitpun.
Selesai
mencuci tangan, wanita berperawakan kecil ini lalu menyantap gorengan. Usai
menyantap gorengan ia menyegarkan tenggorokannya dengan es Kuku Bima yang tadi
dibeli di tukang nasi. Rofiati minum separuh lalu menyodorkan sisanya kepada
Usman. Satu plastik es untuk berdua adalah salah satu cara untuk menghemat
biaya.
“Woy,
ada acara Prabowo di depan. Coba ke sana, banyak sampah,” tiba-tiba seorang
penjual minuman bersepeda menghampiri Usman.
“Nantilah,
ini masih belum selesai bersihin plastik,” jawab Usman.
“Jangan
nyesel ya, pokoknya saya udah ngasih tau,”
lanjut lelaki bersepeda. Usman hanya mengangguk tanda mengerti.
Dua
puluh menit berlalu. Usman dan Rofiati selesai mengerjakan tugas mereka. Gelas-gelas
air mineral disusun seperti menara-menara kecil. Usman menyeret kembali
gerobaknya menuju tempat acara Prabowo berlangsung. Rofiati seperti biasa
berjalan lambat di belakangnya. Kebetulan tempat acara yang dimaksud termasuk
rute Usman menuju rumah pengepul di Manggarai.
“Walah
udah selesai acaranya. Kita telat
bu,” keluh Usman pada Rofiati. Sampah-sampah memang masih banyak berserakan.
Tetapi sampah yang diburu Usman sudah tidak ada. Pelataran rumah yang dipakai
untuk acara Prabowo tinggal menyisakan sampah makanan dan plastik kresek.
Mereka berdua kalah cepat oleh pemulung-pemulung yang lain.
Barang-barang seperti ini buat kita mungkin hanya sampah. Tetapi buat para pemulung ini adalah harta karun. Foto: wikimedia |
Suami
istri ini kembali berjalan menuju Manggarai. Tempat pengepul yang dituju terletak di sebelah timur Pasar
Manggarai. Usman tak mengenal siapa nama si pengepul. Namun, ia dan pengepul
sudah hapal karena kerja sama telah terjalin sejak lama. Kadang kala jika Usman
dan istrinya pulang ke Jember, mereka menitipkan gerobaknya pada pengepul yang
biasa disebut bos.
Sepanjang
perjalanan, Rofiati tangkas memungut botol dan gelas bekas yang dibuang
sembarangan. Sembari menyusuri trotoar saya ikut mengamati kalau-kalau ada
sampah yang terlewat oleh mata Rofiati. Mata saya lalu tertumbuk pada sebuah
botol air mineral yang tergeletak di pinggir trotoar.
“Ada
itu di pojok bu, tapi...,” belum selesai saya bicara Rofiati sudah menyahut.
“Oiya
ada. Wah ada air kencingnya mbak. Harus dibuang dulu.”
Wanita
berlogat Madura itu memungut botol yang saya tunjuk. Ia membuka tutup lalu
membuang isinya dan melemparkan botol yang sudah kosong itu ke dalam karung.
Akhirnya
tibalah Usman dan Rofiati di rumah bos. Rumah si bos jauh dari kata rapi. Di
luar rumah nampak timbangan dan tumpukan botol plastik yang menggunung tak
beraturan. Seorang lelaki kurus berkaos singlet duduk di balik meja kecil
sambil menghadap kalkulator.
Usman
mengeluarkan perolehannya dari dalam gerobak untuk ditimbang. Tanpa banyak
bicara si kurus menimbang sampah-sampah Usman. Diambilnya nota dan tangannya
bergerak cepat menuliskan sederetan angka. Sore ini Usman berhasil mengantongi
Rp 124.400,00. Jumlah yang lumayan untuk membeli makan dan disisihkan untuk
tabungan.
Setiap
bulan Usman mengirim uang kepada anak-anaknya di Jember. Ia mentransfer uang ke
rekening anaknya lewat bank. Mulanya ritual ke bank dan mengirim uang adalah
kegiatan yang rumit bagi Usman dan Rofiati. Keduanya tak pernah makan sekolahan
sehingga urusan baca tulis menjadi hal yang mustahil. Beruntung mereka selalu
dapat minta bantuan kepada petugas bank untuk melancarkan urusannya.
Meski
tak bisa baca tulis, Usman mengantongi sebuah handphone. Anak pertamanya yang
memberikan handphone itu. Jangan tanya bagaimana ia mengoperasikannya.
Pemahamannya tentang handphone bersandar pada hapalan jumlah pencetan keypad.
Pencet
tombol tengah dan tanda bintang artinya membuka kunci. Jika hendak menelepon
anaknya ia cukup memencet tanda panah ke bawah dua kali. Begitu pula dengan
kontak-kontak yang lain. Tiga kali pencet untuk menghubungi menantunya dan lima
kali pencet untuk meminta hutang pada penjual nasi.
Seperti
pada umumnya handphone, sewaktu-waktu baterenya bisa habis dan minta di-charge. Untuk itu Usman sudah punya
konter langganan di Manggarai. Dua ribu rupiah untuk pengisian baterai satu
strip dan lima ribu jika ingin mengisinya sampai penuh. Di konter yang sama
Usman juga biasa membeli pulsa. Ia membeli pulsa sepuluh ribu rupiah yang awet
hingga dua puluh hari.
***
Rutinitas
Usman dan Rofiati dimulai selepas subuh. Mereka berangkat dari ‘rumahnya’ di
Gondangdia menuju Menteng. Untuk menyegarkan tubuh, Usman mandi di Kali Gresik.
Rofiati tak mau mau mandi di pinggir kali. Ia lebih memilih mandi di masjid
atau kamar mandi umum Pasar Manggarai.
Rofiati
membayar dua ribu rupiah untuk sekali mandi. Karena harus membayar, ia hanya
mandi sehari sekali. Pakaian kotor dicucinya di masjid atau pom bensin karena
pihak pasar tidak mengijinkan kamar mandinya dipakai mencuci. Baju-baju yang
telah dicuci dijemur di tepi gerobak.
Bukan
tanpa alasan Usman dan Rofiati merantau ke Jakarta. Keluarga mereka menanggung
beban hutang di kampung sebesar Rp 12 juta. “Jumlahnya sekarang agak berkurang.
Dulu sempat sampai Rp 30 juta,” kisah Usman.
Kewajiban
melunasi hutang masih ditambah menafkahi tiga orang anak, seorang menantu, dan
seorang cucu. Anak tertuanya sudah berkeluarga namun ia tak pernah punya
pekerjaan tetap. Menurut cerita Usman, anak tertuanya yang bernama Usman Ashari
memiliki kepandaian bermain gitar dan mengaji. Anaknya kadang diminta tampil
jika ada panggung hiburan di kampung atau acara hajatan. Meski demikian
pendapatan sang anak belum bisa dikatakan layak untuk menghidupi keluarga
sehari-hari.
Cikal
bakal hutang diawali ketika pada tahun 1990 keluarga Usman mengalami rugi
besar. Usman yang berdagang sayur dan cabai harus mengalami kebangkrutan
lantaran puluhan kuintal cabainya tak laku di pasaran. Cabai yang ia beli dari
pengepul masih menumpuk sementara kondisinya kian membusuk. Alhasil uangnya tak
berputar dan habis untuk biaya hidup dan sekolah anaknya.
Usman
memberanikan diri berhutang yang belakangan justru makin mencekik perekonomian
keluarganya. Hutang semakin membengkak dan Usman harus merelakan motornya untuk
dijual. Tuntutan untuk melunasi hutang ditambah rasa malu membawa Usman dan
Rofiati sampai ke Jakarta.
Pada
1991 mereka memutuskan untuk menjadi pemulung di ibukota. Pasangan ini mulai
mencari sampah puluhan kilometer setiap hari dengan kendaraan utama tungkai
kaki mereka sendiri. Rofiati tak pernah bisa menyembunyikan air mata setiap
kali Usman bercerita tentang hutangnya. Rofiati bosan hidup sengsara. “Saya
pengen dagang lagi di kampung. Tapi mau bagaimana lagi uang selalu habis buat
hidup sehari-hari dan bayar hutang,” kata Rofiati lemah.
Konsekuensinya,
Usman dan Rofiati harus rela hidup terpisah dengan anak-anaknya. Mustahil
membawa anaknya turut serta sementara mereka masih perlu melanjutkan sekolah.
Anak kedua Usman kini duduk di bangku kelas dua SMP sementara yang paling kecil
masih kelas dua SD. Beberapa kali dalam seminggu pasangan ini menelepon
anak-anaknya. Tiap kali bertelepon, si bungsu selalu menanyakan kapan mamak dan
bapaknya pulang.
***
Sore
berganti malam. Muatan sampah sudah ditukar dengan rupiah. Kini saatnya Usman
dan Rofiati pulang ke ‘rumah’. Mereka berjalan menyusuri Jalan Surabaya menuju
Gondangdia sambil tetap mencari sampah. Malam ini Usman menyeret gerobak tanpa
mengenakan alas kaki. “Beberapa hari ini telapak kaki rasanya perih kalau memakai
sandal,” ujarnya.
Waktu
menunjukkan pukul delapan malam ketika keduanya tiba di tempat biasa mereka
tidur. Usman memarkir gerobaknya di pinggir jalan. Ia sengaja tak membawanya ke
atas trotoar karena dilarang oleh satpam.
Usman
dan istrinya menggelar karton untuk duduk sejenak di bawah pohon. Masih terlalu
cepat untuk tidur. Orang-orang masih ramai berlalu lalang dan yang demikian
tidak membuat mereka nyaman beristirahat. Jeda waktu ini digunakan untuk
ngobrol-ngobrol dan bersenda gurau sekadar melepaskan penat seletah bekerja
seharian.
Lampu
jalanan memantulkan bayangan kami bertiga. Beberapa saat terjadi hening yang
kering. Tangan Usman merogoh bungkus rokok dari saku kemejanya yang lusuh.
Disulutnya sebatang dan dihisapnya dalam-dalam. Ia perlu suasana santai sebelum
tidur. Dan kenikmatan itu bisa dihadirkan lewat nyala sebatang rokok.
Asap
keluar dari mulut Usman. Mata tuanya mengikuti gerakan asap seolah ia ingin
menitipkan beban hidup agar ikut menguap bersamanya. Sembari merokok, ia mulai
bercerita. Beragam kisah meluncur dari mulutnya. Semua kisah bernada sama yaitu
kerinduan akan kampung halaman.
Di
sini, saya melihat keadaan yang ambigu. Di satu sisi mereka terjerat hutang.
Tetapi di sisi lain Usman tak mengerem kebiasannya merokok agar bisa
menyisihkan uang lebih. Mungkin baginya duduk ditemani sebatang rokok adalah
satu-satunya hiburan yang bisa ia jangkau.
Di
samping Usman, Rofiati mulai terkantuk-kantuk. Matanya yang sayu menandakan
ingin segera dipejamkan. Ia meluruskan kaki kecilnya dan menyandarkan punggung
pada pokok bougenvil. Satu hari akan mereka sudahi. Rokok Usman mulai memendek.
Rofiati berkali-kali menguap. Saya pun berpamitan. Sudah saatnya membiarkan
pasangan ini beristirahat dipeluk angin malam.