Saya baru hidup di
Jakarta dalam hitungan bulan. Sejujurnya, kota inilah yang paling saya hindari. Sejak kuliah, saya bilang sama teman-teman mau kerja di mana saja asal jangan di Jakarta. Kalaupun harus di Jakarta, itu hanya untuk training dan tidak lama. Tapi kini, saya justru mencari sesuap nasi di ibukota. Makanya ketika ketemuan dengan teman-teman, pertanyaan yang pasti muncul adalah, "Bukannya kamu bilang nggak mau ke Jakarta?" Dan saya hanya nyengir kuda.
Selama berbulan-bulan saya masih saja suka
‘jetlag’ dengan harga-harga fantastis di sini. Hidup di Jakarta, bisa dibilang
semua harga dua kali lipat dibandingkan Jogja. Es teh manis empat ribu saja
menurut saya mahal. Tapi menurut pandangan warga Jakarta, harga itu normal.
Pertama datang di
kota yang dipimpin Ahok ini, saya harus berhadapan dengan kosan seharga Rp 450
ribu tapi dengan fasilitas amat sederhana. Kamar pertama saya di Jakarta
berukuran 4,5x12 ubin. Ubinnya, itu lho, keramik persegi warna putih. Jadi
kamar saya waktu itu memanjang. Bandingkan dengan kamar kos saya sebelumnya di
Temanggung yang bisa diisi dipan ukuran double, meja, serta lemari tinggi yang
dibanderol cuma Rp 180 ribu per bulan. Fiuhh.
Dengan harga Rp 450
ribu saya menerima kamar kos berkamar mandi luar. Kalau ingin kamar mandi
dalam, saya harus merogoh kocek minimal Rp 750 ribu. Artinya dalam setahun saya
harus mengeluarkan Rp 9 juta. Menurut saya ini kejam. Karena dengan harga Rp
500 ribu di Jogja, kita sudah mendapat kamar kos dengan kamar mandi dalam. Tapi
nampaknya saya harus berhenti menjadikan Jogja sebagai parameter harga kalau
saya tak ingin sakit hati melulu di sini. Saya harus move on dari Jogja yang
serba murah dan meriah.
Kamar itu diisi satu
lemari pendek ala anak kos dan satu spring bed ukuran single. Jika pagi
menjelang, si kasur disandarkan ke tembok agar saya lebih leluasa jalan-jalan
di kamar. Lagipula kalau tak disandarkan, kamar pintu kos saya hanya bisa
terbuka separo. Hahaha.
Bapak kos, yang
konon keluarganya pernah jadi yang terkaya se-Warung Buncit, berbaik hati
meminjamkan sprei merah berlogo Manchester United. Belakangan sprei itu tidak
pernah saya pakai. Saya mint dikirimkan sprei dari rumah. Saya sengaja tidak membeli sprei karena
saya tipe orang yang memerlukan potongan rumah di mana pun saya tinggal. Saya
juga tidur berselimutkan sarung milik ayah. Pokoknya harus ada bau rumah.
Kalau mau ambil baju di lemari, kasurnya diangkat dulu ya |
Setelah bertahan sekitar empat bulan, akhirnya saya
menemukan kos baru yang lebih luas dan nyaman. Memang lebih mahal,tapi lingkungan sekitarnya menurut saya lebih nyaman. Kos yang dulu terletak di perkampungan yang padat penduduk. Di sana hawanya selalu panas. Saya bahkan berkeringat tiap bangun pagi. Di kos yang sekarang yang saya tempati, udaranya lebih sejuk dan rumah-rumahnya tidak sepadat kos sebelumnya.
Satu lagi yang
mahalnya membuat gemas adalah tukang ojek. Sebenarnya saya malas berurusan dengan tukang
ojek. Masalahnya, tidak semua daerah di Jakarta dilalui angkutan umum.
Misalnya, Sudirman Centre Business District (SCBD) dan Menteng. Dua tempat
itulah yang paling sering bersinggungan dengan pekerjaan saya.Tidak ada tarif lima ribu dalam kamus tukang ojek. Membonceng jarak dekat minimal kita harus membayar Rp 10 ribu. Kalau kebetulan tuakng ojeknya baik, ya delapan ribu bolehlah.
Tukang ojek di
Jakarta mayoritas buta arah. Atau pura-pura buta arah? Saya tak tahu. Setiap
kali saya menunjuk satu daerah, pertanyaan pertama yang keluar dari mulut si
tukang ojek adalah, “Itu di mana?”
Awalnya saya maklum
karena mungkin si tukang ojek adalah orang perantauan jadi tak terlalu mengerti
arah. Tapi sekali, dua kali, tiga kali, hingga berkali-kali saya menemui tukang
ojek model begini. Seolah-olah sepanjang hidupnya hanya dihabiskan di pangkalan
ojek dan tak ke mana-mana. Belakangan saya diberitahu redaktur di kantor kalau
itu memang modus. Dengan berpura-pura
tak tahu jalan, mereka meminta tarif yang tinggi dengan alasan ‘sudah
berputar-putar mencari jalan’.
Salah satu
pengalaman yang bikin saya dongkol adalah ketika dari SCBD saya mau geser liputan ke
Senayan. Dari belakang Pacific Place menuju GBK, tukang ojek minta bayaran Rp
40 ribu!
0 komentar:
Posting Komentar