Minggu, 18 Januari 2015

Dilema Kamar Kos dan Ojek Kuper



Saya baru hidup di Jakarta dalam hitungan bulan. Sejujurnya, kota inilah yang paling saya hindari. Sejak kuliah, saya bilang sama teman-teman mau kerja di mana saja asal jangan di Jakarta. Kalaupun harus di Jakarta, itu hanya untuk training dan tidak lama. Tapi kini, saya justru mencari sesuap nasi di ibukota. Makanya ketika ketemuan dengan teman-teman, pertanyaan yang pasti muncul adalah, "Bukannya kamu bilang nggak mau ke Jakarta?" Dan saya hanya nyengir kuda.

Selama berbulan-bulan saya masih saja suka ‘jetlag’ dengan harga-harga fantastis di sini. Hidup di Jakarta, bisa dibilang semua harga dua kali lipat dibandingkan Jogja. Es teh manis empat ribu saja menurut saya mahal. Tapi menurut pandangan warga Jakarta, harga itu normal.

Pertama datang di kota yang dipimpin Ahok ini, saya harus berhadapan dengan kosan seharga Rp 450 ribu tapi dengan fasilitas amat sederhana. Kamar pertama saya di Jakarta berukuran 4,5x12 ubin. Ubinnya, itu lho, keramik persegi warna putih. Jadi kamar saya waktu itu memanjang. Bandingkan dengan kamar kos saya sebelumnya di Temanggung yang bisa diisi dipan ukuran double, meja, serta lemari tinggi yang dibanderol cuma Rp 180 ribu per bulan. Fiuhh.

Dengan harga Rp 450 ribu saya menerima kamar kos berkamar mandi luar. Kalau ingin kamar mandi dalam, saya harus merogoh kocek minimal Rp 750 ribu. Artinya dalam setahun saya harus mengeluarkan Rp 9 juta. Menurut saya ini kejam. Karena dengan harga Rp 500 ribu di Jogja, kita sudah mendapat kamar kos dengan kamar mandi dalam. Tapi nampaknya saya harus berhenti menjadikan Jogja sebagai parameter harga kalau saya tak ingin sakit hati melulu di sini. Saya harus move on dari Jogja yang serba murah dan meriah.

Kamar itu diisi satu lemari pendek ala anak kos dan satu spring bed ukuran single. Jika pagi menjelang, si kasur disandarkan ke tembok agar saya lebih leluasa jalan-jalan di kamar. Lagipula kalau tak disandarkan, kamar pintu kos saya hanya bisa terbuka separo. Hahaha.

Bapak kos, yang konon keluarganya pernah jadi yang terkaya se-Warung Buncit, berbaik hati meminjamkan sprei merah berlogo Manchester United. Belakangan sprei itu tidak pernah saya pakai. Saya mint dikirimkan sprei dari rumah. Saya sengaja tidak membeli sprei karena saya tipe orang yang memerlukan potongan rumah di mana pun saya tinggal. Saya juga tidur berselimutkan sarung milik ayah. Pokoknya harus ada bau rumah.

Kalau mau ambil baju di lemari, kasurnya diangkat dulu ya

 Setelah  bertahan sekitar empat bulan, akhirnya saya menemukan kos baru yang lebih luas dan nyaman. Memang lebih mahal,tapi lingkungan sekitarnya menurut saya lebih nyaman. Kos yang dulu terletak di perkampungan yang padat penduduk. Di sana hawanya selalu panas. Saya bahkan berkeringat tiap bangun pagi. Di kos yang sekarang yang saya tempati, udaranya lebih sejuk dan rumah-rumahnya tidak sepadat kos sebelumnya.

Satu lagi yang mahalnya membuat gemas adalah tukang ojek. Sebenarnya saya malas berurusan dengan tukang ojek. Masalahnya, tidak semua daerah di Jakarta dilalui angkutan umum. Misalnya, Sudirman Centre Business District (SCBD) dan Menteng. Dua tempat itulah yang paling sering bersinggungan dengan pekerjaan saya.Tidak ada tarif lima ribu dalam kamus tukang ojek. Membonceng jarak dekat minimal kita harus membayar Rp 10 ribu. Kalau kebetulan tuakng ojeknya baik, ya delapan ribu bolehlah.

Tukang ojek di Jakarta mayoritas buta arah. Atau pura-pura buta arah? Saya tak tahu. Setiap kali saya menunjuk satu daerah, pertanyaan pertama yang keluar dari mulut si tukang ojek adalah, “Itu di mana?”

Awalnya saya maklum karena mungkin si tukang ojek adalah orang perantauan jadi tak terlalu mengerti arah. Tapi sekali, dua kali, tiga kali, hingga berkali-kali saya menemui tukang ojek model begini. Seolah-olah sepanjang hidupnya hanya dihabiskan di pangkalan ojek dan tak ke mana-mana. Belakangan saya diberitahu redaktur di kantor kalau itu memang modus. Dengan berpura-pura tak tahu jalan, mereka meminta tarif yang tinggi dengan alasan ‘sudah berputar-putar mencari jalan’.

Salah satu pengalaman yang bikin saya dongkol adalah ketika dari SCBD saya mau geser liputan ke Senayan. Dari belakang Pacific Place menuju GBK, tukang ojek minta bayaran Rp 40 ribu!

Alasannya sama. “Kan muter dulu kalau mau ke Senayan,” kata tukang ojek dengan wajah datar.

0 komentar:

Posting Komentar