Kamis, 04 Februari 2016

Wayang Orang Belum Mati


Suatu malam di Kota Batu, Kwee Kiat Siang diajak kakeknya menonton wayang orang. Bocah berusia tujuh tahun itu lalu terpukau pada setiap adegan dan cerita yang dimainkan dalam pertunjukan tersebut. Ia kemudian rajin menonton setiap kali ada pertunjukan wayang orang di kotanya. Tatkala beranjak remaja Kwee Kiat Siang alias Sita Dewi Kusumawati bergabung dengan perkumpulan sandiwara Ratna (Rukun Amatir Teater) di Malang. Kini di usianya yang ke 74, Sita masih dikenal sebagai pegiat wayang orang yang terkenal di seantero Malang.

Usia senja tak menghalangi Sita untuk terus berkarya. Di tengah derasnya arus budaya barat yang masuk ke tanah air, wanita keturunan Tionghoa ini masih bersetia melanggengkan kesenian asli Jawa. Hanya satu yang menjadi kekhawatiran nenek lima cucu ini. “Anak muda zaman sekarang tidak banyak yang berminat pada wayang orang, kalaupun ada yang bisa bermain wayang orang penghayatan mereka kurang bagus,” kata Bu Rudy, sapaan akrab Sita saat ditemui di rumahnya akhir pekan ini.

Bu Rudy berkisah sejak muda ia memang menggandrungi wayang orang. Tiga anak hasil pernikahannya dengan alm. Rudyanto Rama Wijaya juga ia kenalkan pada seni tradisi Jawa. Anak perempuan semata wayangnya, Irene Kartika Widjaja, pada 1977 berkesempatan tampil di Ang Hien Hoo. Ang Hien Hoo adalah wadah bagi warga Tionghoa di Malang untuk berkumpul dan mengadakan berbagai kegiatan mulai dari olah raga hingga seni. Wayang orang inilah yang menjadi andalan dari Ang Hien Hoo. Irene menjadi bintang yang bersinar di Ang Hien Hoo dan kerap mewakili Indonesia sebagai duta seni di mancanegara.

Pada 1978 Bu Rudy bergabung dengan Ang Hien Hoo yang pada saat itu sudah berganti nama menjadi Wayang Orang Panca Budhi. Di organisasi itu ia bertindak sebagai manajer. Hampir seluruh anggota klub wayang orang adalah warga keturunan Tionghoa. Mereka fasih memainkan wayang orang dengan logat seperti pribumi.

Sayangnya sedikit demi sedikit anggotanya mengundurkan diri sehingga Panca Budhi hanya tinggal nama tanpa personil. Setelah bertahun-tahun vakum, Bu Rudy kemudian berinisiatif mendirikan sanggar baru dan diberi nama Bara Pratama. Bara Pratama tak ubahnya Panca Budhi yang mengalami reinkarnasi. Bu Rudy pun sukses membangunkan kembali kejayaan wayang orang di bumi Arema. Lakon-lakon yang biasa dimainkan mengambil dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Setiap penampilan Bara Pratama selalu diacungi jempol.

Bu Rudy dan koleksi kostum wayang orang miliknya. Bu Rudy menunjukkan mahkota yang dipakai untuk memerankan tokoh Ken Arok.
Berpuluh tahun menggeluti dunia wayang orang, Bu Rudy dan keluarganya tak jarang menuai cibiran dari masyarakat. Alasan utamanya adalah statusnya sebagai warga keturunan. “Kata mereka wayang orang kan kesenian Jawa ngapain orang Tionghoa ikut-ikut,” jelasnya.
Anaknya, Irene, yang kerap kali menjuarai lomba seni juga harus menerima sindiran. “Wah kita kecolongan, masa ada C yang menang, C itu artinya Cina,” kata Bu Rudy menirukan sindiran peserta lain sembari terkekeh.

Walau demikian, sampai saat ini semangat Bu Rudy menghidupkan kesenian wayang orang tak pernah surut. Ia masih menjadi pembina sanggar yang setiap akhir pekan berlatih di Klenteng Eng An Kiong. Ia juga menyediakan berbagai properti untuk keperluan pementasan.

Empat kamar di rumahnya yang berisi kostum pertunjukan wayang orang menjadi bukti cinta Bu Rudy pada kesenian tradisional ini. Total seluruh kostum pementasan di empat kamar tersebut bernilai sekitar Rp 600 juta. Semua koleksi itu dibeli dari kantung sendiri. “Saya tidak tahu kenapa bisa suka wayang orang, ya tahu-tahu suka, mungkin karena cerita-ceritanya yang selalu mengajarkan kebaikan,” ungkap wanita yang mempunyai usaha catering ini.

Pada 22 Februari mendatang sanggar asuhan Bu Rudy akan tampil dalam perayaan Cap Go Meh di Kota Malang. Lakon yang akan ditampilkan adalah Anoman Obong. “Ayo silakan semua boleh menonton gratis,” ucapnya berpromosi.

Pesatnya globalisasi menjadikan wayang orang seolah hanya kesenian usang di kalangan anak muda. Waktu terus berputar dan para personil di sanggar binaannya semakin menua. Bu Rudy hanya bisa berharap akan muncul bibit-bibit muda yang mumpuni memerankan lakon wayang orang sebelum kesenian ini hilang terkikis zaman.

4 komentar: