Minggu, 17 Mei 2015

Siapa yang Paling Cantik?

Indonesia bukan negara Islam. Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Maka menolak ajang kontes kecantikan seperti Miss Universe, Miss World, atau Putri Indonesia sepertinya adalah hal yang sia-sia. Karena, di samping alasan adat ketimuran isu-isu yang diangkat dalam penolakan kontes kecantikan biasanya adalah isu agama.

Wanita dilarang memamerkan aurat, wanita dilarang berlenggak-lenggok, dan wanita dilarang menjadi barang pajangan adalah sudut pandang Islam. Sebagai negara yang majemuk, wajar jika isu-isu semacam itu tidak mempan menghentikan diselenggarakannya ajang kecantikan. Tidak semua orang Indonesia beragama Islam. Dan lagi, tidak semua Muslim memiliki pandangan yang sama. Maka tak heran di kala sebagian Muslim menolak kontes kecantikan, sebagian Muslim lain yang berpandangan sekuler tengah sibuk menjadi panitia penyelenggara dan peserta.

Sayangnya, kita umat Islam nampaknya justru malah menduplikasi dan memodifikasi ajang pemilihan ratu kecantikan agar terlihat lebih Islami. Munculnya kontes kecantikan Muslimah adalah hal yang patut dipertanyakan. "Miss Muslimah itu cuma Miss Universe dikasih jilbab!" ujar seorang teman saya dengan nyinyir. Pernyataan itu tidak keluar dari mulut seorang aktivis muslim apalagi yang berjilbab lebar. Teman saya juga tidak rajin-rajin amat tadarusan. Dia hanya muslimah biasa yang sama awamnya seperti saya. Tetapi ia termasuk yang geli melihat para muslimah diperlombakan di atas panggung.

Ya, buat saya (dan mungkin beberapa orang lain di luar sana) inti dari ajang miss-miss-an atau putri-putrian adalah mencari wanita-wanita cantik. Dan kehadiran kontes kecantikan Muslimah pun bagaikan adik kandung Miss Universe dan Miss World. Hanya yang satu 'pakai bungkus' dan yang satu 'tidak pakai bungkus'. Kalaupun ada konsep 3B (brain, beauty, behaviour) maka itu adalah kelihaian penyelenggara agar kontes semacam ini lebih bisa diterima. Konsep 3B kemudian diadopsi oleh ajang kecantikan Muslimah lewat 3S (shalihah, smart, stylish). Akh, pantaskah ke-shalihah-an dikonteskan? Jikalau ya, apa standarnya? Dari mana kita tahu seseorang lebih shalihah daripada yang lain sedangkan apa yang tersimpan di dalam hati hanya Allah yang tahu?

Jika standar shalihah adalah berjilbab, maka betapa dangkalnya standar itu karena kita hanya menilai orang dari tampilan luarnya saja. Jika standarnya bisa mengaji dan hafal al-qur'an, anak-anak SD dan SMP juga bisa mengaji dan menghafal. Tetap saja penilaian menitikberatkan pada kecantikan dan keindahan fisik. Kita tidak melihat wanita berperawakan misal (maaf) pendek, gendut, atau berwajah sangat biasa bisa berjalan di atas panggung penjurian. Semua yang tampil pada kontes kecantikan adalah mereka yang berwajah cantik/manis, tinggi semampai, dan berkulit bersih. Padahal di luar sana banyak kaum hawa memiliki pemikiran brilian namun kondisi fisiknya tidak semulus mereka yang berlenggak-lenggok di atas panggung. Banyak wanita-wanita berpenampilan ala kadarnya bisa berprestasi dan memberikan kontribusi signifikan bagi lingkungan namun tidak terekspos gemerlapnya panggung kontes. Kondisi ini seolah menegaskan hanya wanita cantik saja yang diizinkan menjadi duta ini dan itu.

Foto diambil dari sini


Pagelaran kontes kecantikan muslimah pada akhirnya bermuara pada kapitalisme. Sederetan sponsor sudah menyokong perhelatan kontes kecantikan muslimah sejak ajang ini dipromosikan. Mulai dari kosmetik hingga busana muslim (yang mahal dan tidak syar'i). Mereka yang berhasil memenangkan lomba ditunjuk menjadi brand ambassador produk sponsor. Kontes kecantikan pada hakikatnya adalah meraup keuntungan bisnis. Kampanye agar wanita berjilbab? Please, masih banyak cara lain untuk mengajak wanita sadar jilbab selain lewat ajang kecantikan. Kontes kecantikan justru bisa memicu lahirnya kasta-kasta dalam dunia per-muslimah-an. Kasta antara yang cantik, pintar, dan (dianggap) shalihah dengan kasta muslimah yang serba biasa dan sedang-sedang saja. Hati manusia siapa yang tahu, ajang kecantikan musimah bisa jadi malah menjerumuskan wanita pada sifat sombong dan berlebih-lebihan.

Pemilihan ratu kecantikan tidak berkorelasi dengan pendapatan negara. Apakah dengan Indonesia menjuarai kontes kecantikan muslimah lalu serta merta sektor pariwisata ikut terdongkrak? Atau jika boleh lebih ekstrim lagi, sejak Indonesia ambil bagian dalam Miss World dan Miss Universe seberapa melejitkah pamor pariwisata Tanah Air di mata dunia?

Pangkal dari keberhasilan sektor pariwisata tidak berada pada seberapa berkilaunya wanita Indonesia di mata dunia. Kemauan pemerintah menyediakan infrastruktur pariwisata yang  memadai jauh lebih penting dalam memajukan sektor pariwisata. Keberadaan sumber daya manusia yang mumpuni di bidang seni dan budaya Indonesia adalah aset paling berharga yang harus diperhatikan pemerintah.

Kembali ke kontes kecantikan muslimah, budaya apa yang tengah dikampanyekan ajang ini sementara Rasulullah melarang kaumnya untuk berlebih-lebihan? Saya sangat tidak berkompetensi dalam bidang agama tetapi izinkan saya membagi dua hadis populer yang pasti sudah sering kita dengar. Mari kita mengingat sabda nabi yang satu ini, "Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli orang-orang dengannya. Dan wanita-wanita yang memakai baju tapi telanjang, berjalan dengan menggoyang-goyangkan pundaknya dan berlenggak-lenggok. Kepala mereka seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapat wanginya, padahal sungguh wangi surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian." (HR Muslim). Atau sabda yang ini, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka." (HR Abu Daud).

Maaf bukan bermaksud menggurui, tetapi bukankah kontes kecantikan jelas bukan budaya yang dianjurkan oleh Islam? Sekali lagi, saya hanyalah orang awam. Tetapi melihat sederetan muslimah dipertontonan dan dilombakan sambil mereka memamerkan senyum yang seragam, rasanya tak tahan untuk tidak berkomentar. Ke mana jati diri kaum muslim? Sebegitu mudahnyakah terpengaruh budaya-budaya kapitalis yang esensi keislamannya masih dipertanyakan? Wanita shalihah yang sebenarnya tidak akan membiarkan dirinya dieksploitasi dan dinilai para juri. Karena, juri yang sebenarnya hanyalah Dia Sang Maha Pencipta.


-correct me if i'm wrong-

0 komentar:

Posting Komentar