Sabtu, 24 Januari 2015

Sepasang Manusia Gerobak

Sepasang Manusia Gerobak


Kata mentor saya, untuk belajar membuat tulisan yang baik seorang penulis harus melakukan riset dan menyelami materi yang akan ditulis. Suatu hari, saya diminta mencari manusia gerobak. Manusia gerobak adalah sebutan bagi mereka yang sehari-hari tinggal di dalam gerobak dan bekerja sebagai pemulung. Mentor saya yang bertubuh subur itu ingin agar anak didiknya mendalami kehidupan kaum marjinal perkotaan.

“Ikuti seharian penuh,” ujarnya menginstruksikan.

“Dan cari yang sudah berkeluarga,” imbuhnya.

Waduh, di mana coba saya nyari mereka? Masalahnya lagi, apa mereka mau kalau saya ikuti sepanjang hari?

“Kamu harus makan bareng mereka,” tambahnya lagi.

“Kalau mereka nggak mau diikuti gimana mas?” tanyaku.

“Kamu buat dong biar mereka mau, terserah gimana caranya,” katanya mengetok palu.

Besoknya, saya sudah beredar di tengah kota mencari para manusia gerobak. Setelah muter ke sana kemari di siang yang terik, akhirnya saya menemukan sasaran yang dicari. Pasangan pemulung yang saya taksir berusia sekitar 45-50 tahunan. Dan inilah yang bisa saya ceritakan.

***

Matahari tepat berada di atas kepala ketika saya menyambangi kawasan Menteng yang elit. Meski hawa Jakarta panas luar biasa namun rimbunnya pepohonan mampu meneduhkan suasana. Di ujung Jalan Cendana saya bertemu dengan sepasang suami istri pemulung. Sebut saja Usman dan Rofiati.

Usman sedang menyantap makan siang ketika saya mengajaknya berkenalan. Sejenak ia menghentikan kegiatannya dan kami saling memperkenalkan diri. Sadar bahwa ia belum menuntaskan makannya saya pun mempersilakan Usman menikmati kembali santap siangnya.

Menu Usman siang ini sederhana saja. Ia menikmati nasi putih yang disiram kuah santan. Makannya lahap meski hanya ditemani lauk tempe. Usman membeli makan siang pada penjual nasi langganannya yang saat itu mangkal di Jalan Cendana.

Tatkala Usman makan, Rofiati mencuci baju di seberang jalan. Istrinya mencuci tepat di depan proyek pembangunan sebuah rumah. Rofiati memanfaatkan air yang mengalir dari selang proyek untuk mencuci baju-baju mereka. Selesai mencuci Rofiati lapar juga. Ia memesan nasi kepada sang penjual namun nasi bungkus ternyata telah habis. Wanita itu menggumam kecewa. Sebagai ganti, ia membeli empat tempe goreng seharga dua ribu rupiah sebagai pengganjal perut.

Ujung Jalan Cendana tengah hari ini semarak. Selain kehadiran keluarga Usman dan pedagang nasi, datang pula satpam kompleks dan tukang rongsokan. Kelompok kecil ini terlibat perbincangan akrab sesekali diselipi guyonan. Setiap topik pembicaraan selalu bermuara pada tema yang sama, politik. Gaung pemilihan presiden sudah menyebar dari perdebatan serius di televisi hingga obrolan kelas pekerja di bawah pohon mangga.

Eh elu presiden milih siapa?” tanya penjual nasi kepada teman-temannya.

Si satpam hanya diam. Ia khusyuk mengunyah gorengan dan tak memedulikan pertanyaan kawannya. Tukang rongsok menyahut, ”Gak kenal semua, lagian gak dapet duit juga, hahaha...”

Belakangan terjadi debat ala akar rumput antara tukang nasi dan tukang rongsok. Keduanya mempersoalkan siapa di antara Prabowo dan Jokowi yang lebih berhak memimpin negeri ini. Tukang nasi bersikukuh membela Prabowo. Tukang rongsok merasa tak perlu ambil pusing siapa yang harus ia pilih nanti.

Usman dan Rofiati tak bisa berlama-lama mengobrol. Mereka harus kembali memulung. Waktu rehat yang nikmat harus diakhiri. Usman mengajak Rofiati beranjak pergi. Setelah menyerahkan dua lembar lima ribuan lusuh ke tukang nasi, mereka berjalan menjauh dari kerumunan kecil itu.

Usman, dengan tenaganya yang utuh, menarik gerobak. Tubuhnya dibalut kemeja hijau lengan panjang dan celana pendek warna coklat. Kulit Usman yang legam terlihat semakin suram karena bajunya lusuh dan warnanya mulai memudar. Giginya menguning karena tak pernah tersentuh pasta gigi. Bau keringat Usman yang bercampur dengan panas matahari membuatnya aroma tubuhnya seperti besi berkarat.

Rofiati mengikuti dari belakang sambil memanggul karung. Kulit Rofiati hitam seperti suaminya. Ia melilit pinggangnya dengan sarung pantai putih sebatas betis. Kaos lengan pendek warna merah ditabrakkan dengan kerudung oranye menyala yang membelit kepala. Kerudung itu hanya diikat sekenanya di bawah dagu dan menampakkan lehernya yang penuh daki.

Sambil berjalan, Rofiati mulai bercerita. Jika malam tiba, ia dan suaminya menuju Gondangdia. Di bawah lampu jalan mereka melewatkan ribuan malam. Gerobak sampah Usman adalah separuh hidupnya. Kotak yang terbuat dari kayu dan seng itu adalah harta berharganya. Selain sebagai tempat menyimpan hasil memungut, gerobak itu juga menjadi tempat tidur di kala malam.

Tak ada kamar apalagi rumah yang mampu mereka sewa. Dengan penghasilan mereka tak menentu, berat mengeluarkan uang 300 atau 400 ribu untuk menyewa kos. Tidur beratapkan langit tanpa bantal apalagi selimut sudah mereka lakoni lebih dari satu dekade. Ukuran gerobak yang tak seberapa besar hanya mampu memuat Rofiati. Tak jarang Rofiati harus tidur di gerobak berbagi tempat dengan sampah yang dipungut.

Usman memilih tidur di samping gerobak beralaskan karton. Keadaan menjadi runyam manakala turun hujan. “Gerobak kita ada tutup plastiknya jadi kalau hujan ibu bisa terlindung. Kalau bapak mengungsi ke pinggiran pos satpam. Biasanya masih ada bagian di luar bangunannya yang tidak kena hujan,”  beber Rofiati.

Sepasang suami istri ini berasal dari Jember, Jawa Timur. Setiap hari Usman dan Rofiati  menempuh belasan kilometer mengais sampah dengan berjalan kaki. Alas kaki mereka hanya sandal jepit tipis yang ringkih. Tali pengait sandal bisa putus hanya dengan sekali sentak.

Sepanjang siang yang terik ini mata mereka teliti memeriksa setiap jengkal jalan. Berharap menemukan sampah yang laku dijual. Tak lupa mereka mengais setiap tong atau bak sampah yang dilewati. Rofiati bilang, plastik bekas air mineral dijual seharga Rp 4.000,00-Rp 5.000,00/kg. Kertas HVS dan kertas kardus dihargai Rp 1.000,00-Rp 1.500,00/kg sementara untuk besi-besi tua Rp 2.000,00/kg.

Rofiati bergerak lincah memungut setiap sampah yang dibuang sembarangan. Kawasan komunitas berpagar seperti Menteng adalah salah satu daerah penyumbang sampah terbanyak. Tiap hari tumpukan sampah rumah tangga dihasilkan oleh kaum berduit. Kondisi ini menjadi surga buat Usman dan Rofiati.

Sepanjang perjalanan, Usman kerap berhenti untuk menyeka hidungnya dengan daster lusuh yang tergantung di gerobak. Kata Rofiati, suaminya sedang flu. Langkah Rofiati mendadak terhenti. Dipungutnya benda kecil berkilauan di pinggir trotoar. Dengan raut wajah bersinar ia menunjukkan benda yang ditemukannya barusan. Selingkar uang logam seratus rupiah. “Lumayan mbak dikumpulkan bisa buat uang jajan anak di kampung,” kata wanita itu.

Pukul 14.00 WIB perjalanan sampai di Jalan Lembang. Pasangan ini memutuskan untuk berhenti sejenak. Mereka perlu menata dan membersihkan hasil pungutan mereka sebelum dijual ke pengepul. Sampah hasil memulung dimuntahkan dari dalam gerobak. Gelas, botol plastik, kardus, hingga tudung saji bekas terhampar di trotoar.

Bau sampah menyeruak namun Usman dan istrinya tak tampak terganggu dengan hal itu. Sampah-sampah yang terkumpul dipisahkan menurut jenisnya. Cukup lama pasangan itu memilah dan memilih sampah. Tangan mereka yang keriput terlihat kotor.

Mendadak Rofiati ingat dia masih menyimpan gorengan di dalam gerobak. Ia mencuci tangannya dengan air yang ia bawa dalam botol plastik ukuran 1,5 liter. Air yang dipakai mencuci tangan nampak keruh. Entah karena penampakan botolnya yang sudah buluk atau memang dasar airnya keruh. Yang jelas Rofiati tak nampak jijik sedikitpun.

Selesai mencuci tangan, wanita berperawakan kecil ini lalu menyantap gorengan. Usai menyantap gorengan ia menyegarkan tenggorokannya dengan es Kuku Bima yang tadi dibeli di tukang nasi. Rofiati minum separuh lalu menyodorkan sisanya kepada Usman. Satu plastik es untuk berdua adalah salah satu cara untuk menghemat biaya.

“Woy, ada acara Prabowo di depan. Coba ke sana, banyak sampah,” tiba-tiba seorang penjual minuman bersepeda menghampiri Usman.

“Nantilah, ini masih belum selesai bersihin plastik,” jawab Usman.

“Jangan nyesel ya, pokoknya saya udah ngasih tau,” lanjut lelaki bersepeda. Usman hanya mengangguk tanda mengerti.

Dua puluh menit berlalu. Usman dan Rofiati selesai mengerjakan tugas mereka. Gelas-gelas air mineral disusun seperti menara-menara kecil. Usman menyeret kembali gerobaknya menuju tempat acara Prabowo berlangsung. Rofiati seperti biasa berjalan lambat di belakangnya. Kebetulan tempat acara yang dimaksud termasuk rute Usman menuju rumah pengepul di Manggarai.

“Walah udah selesai acaranya. Kita telat bu,” keluh Usman pada Rofiati. Sampah-sampah memang masih banyak berserakan. Tetapi sampah yang diburu Usman sudah tidak ada. Pelataran rumah yang dipakai untuk acara Prabowo tinggal menyisakan sampah makanan dan plastik kresek. Mereka berdua kalah cepat oleh pemulung-pemulung yang lain.

Barang-barang seperti ini buat kita mungkin hanya sampah. Tetapi buat para pemulung ini adalah harta karun. Foto: wikimedia
Suami istri ini kembali berjalan menuju Manggarai. Tempat pengepul yang  dituju terletak di sebelah timur Pasar Manggarai. Usman tak mengenal siapa nama si pengepul. Namun, ia dan pengepul sudah hapal karena kerja sama telah terjalin sejak lama. Kadang kala jika Usman dan istrinya pulang ke Jember, mereka menitipkan gerobaknya pada pengepul yang biasa disebut bos.

Sepanjang perjalanan, Rofiati tangkas memungut botol dan gelas bekas yang dibuang sembarangan. Sembari menyusuri trotoar saya ikut mengamati kalau-kalau ada sampah yang terlewat oleh mata Rofiati. Mata saya lalu tertumbuk pada sebuah botol air mineral yang tergeletak di pinggir trotoar.

“Ada itu di pojok bu, tapi...,” belum selesai saya bicara Rofiati sudah menyahut.

“Oiya ada. Wah ada air kencingnya mbak. Harus dibuang dulu.”

Wanita berlogat Madura itu memungut botol yang saya tunjuk. Ia membuka tutup lalu membuang isinya dan melemparkan botol yang sudah kosong itu ke dalam karung.

Akhirnya tibalah Usman dan Rofiati di rumah bos. Rumah si bos jauh dari kata rapi. Di luar rumah nampak timbangan dan tumpukan botol plastik yang menggunung tak beraturan. Seorang lelaki kurus berkaos singlet duduk di balik meja kecil sambil menghadap kalkulator.

Usman mengeluarkan perolehannya dari dalam gerobak untuk ditimbang. Tanpa banyak bicara si kurus menimbang sampah-sampah Usman. Diambilnya nota dan tangannya bergerak cepat menuliskan sederetan angka. Sore ini Usman berhasil mengantongi Rp 124.400,00. Jumlah yang lumayan untuk membeli makan dan disisihkan untuk tabungan.

Setiap bulan Usman mengirim uang kepada anak-anaknya di Jember. Ia mentransfer uang ke rekening anaknya lewat bank. Mulanya ritual ke bank dan mengirim uang adalah kegiatan yang rumit bagi Usman dan Rofiati. Keduanya tak pernah makan sekolahan sehingga urusan baca tulis menjadi hal yang mustahil. Beruntung mereka selalu dapat minta bantuan kepada petugas bank untuk melancarkan urusannya.

Meski tak bisa baca tulis, Usman mengantongi sebuah handphone. Anak pertamanya yang memberikan handphone itu. Jangan tanya bagaimana ia mengoperasikannya. Pemahamannya tentang handphone bersandar pada hapalan jumlah pencetan keypad.

Pencet tombol tengah dan tanda bintang artinya membuka kunci. Jika hendak menelepon anaknya ia cukup memencet tanda panah ke bawah dua kali. Begitu pula dengan kontak-kontak yang lain. Tiga kali pencet untuk menghubungi menantunya dan lima kali pencet untuk meminta hutang pada penjual nasi.

Seperti pada umumnya handphone, sewaktu-waktu baterenya bisa habis dan minta di-charge. Untuk itu Usman sudah punya konter langganan di Manggarai. Dua ribu rupiah untuk pengisian baterai satu strip dan lima ribu jika ingin mengisinya sampai penuh. Di konter yang sama Usman juga biasa membeli pulsa. Ia membeli pulsa sepuluh ribu rupiah yang awet hingga dua puluh hari.
***

Rutinitas Usman dan Rofiati dimulai selepas subuh. Mereka berangkat dari ‘rumahnya’ di Gondangdia menuju Menteng. Untuk menyegarkan tubuh, Usman mandi di Kali Gresik. Rofiati tak mau mau mandi di pinggir kali. Ia lebih memilih mandi di masjid atau kamar mandi umum Pasar Manggarai.

Rofiati membayar dua ribu rupiah untuk sekali mandi. Karena harus membayar, ia hanya mandi sehari sekali. Pakaian kotor dicucinya di masjid atau pom bensin karena pihak pasar tidak mengijinkan kamar mandinya dipakai mencuci. Baju-baju yang telah dicuci dijemur di tepi gerobak.

Bukan tanpa alasan Usman dan Rofiati merantau ke Jakarta. Keluarga mereka menanggung beban hutang di kampung sebesar Rp 12 juta. “Jumlahnya sekarang agak berkurang. Dulu sempat sampai Rp 30 juta,” kisah Usman.

Kewajiban melunasi hutang masih ditambah menafkahi tiga orang anak, seorang menantu, dan seorang cucu. Anak tertuanya sudah berkeluarga namun ia tak pernah punya pekerjaan tetap. Menurut cerita Usman, anak tertuanya yang bernama Usman Ashari memiliki kepandaian bermain gitar dan mengaji. Anaknya kadang diminta tampil jika ada panggung hiburan di kampung atau acara hajatan. Meski demikian pendapatan sang anak belum bisa dikatakan layak untuk menghidupi keluarga sehari-hari.

Cikal bakal hutang diawali ketika pada tahun 1990 keluarga Usman mengalami rugi besar. Usman yang berdagang sayur dan cabai harus mengalami kebangkrutan lantaran puluhan kuintal cabainya tak laku di pasaran. Cabai yang ia beli dari pengepul masih menumpuk sementara kondisinya kian membusuk. Alhasil uangnya tak berputar dan habis untuk biaya hidup dan sekolah anaknya.

Usman memberanikan diri berhutang yang belakangan justru makin mencekik perekonomian keluarganya. Hutang semakin membengkak dan Usman harus merelakan motornya untuk dijual. Tuntutan untuk melunasi hutang ditambah rasa malu membawa Usman dan Rofiati sampai ke Jakarta.

Pada 1991 mereka memutuskan untuk menjadi pemulung di ibukota. Pasangan ini mulai mencari sampah puluhan kilometer setiap hari dengan kendaraan utama tungkai kaki mereka sendiri. Rofiati tak pernah bisa menyembunyikan air mata setiap kali Usman bercerita tentang hutangnya. Rofiati bosan hidup sengsara. “Saya pengen dagang lagi di kampung. Tapi mau bagaimana lagi uang selalu habis buat hidup sehari-hari dan bayar hutang,” kata Rofiati lemah.

Konsekuensinya, Usman dan Rofiati harus rela hidup terpisah dengan anak-anaknya. Mustahil membawa anaknya turut serta sementara mereka masih perlu melanjutkan sekolah. Anak kedua Usman kini duduk di bangku kelas dua SMP sementara yang paling kecil masih kelas dua SD. Beberapa kali dalam seminggu pasangan ini menelepon anak-anaknya. Tiap kali bertelepon, si bungsu selalu menanyakan kapan mamak dan bapaknya pulang.

***

Sore berganti malam. Muatan sampah sudah ditukar dengan rupiah. Kini saatnya Usman dan Rofiati pulang ke ‘rumah’. Mereka berjalan menyusuri Jalan Surabaya menuju Gondangdia sambil tetap mencari sampah. Malam ini Usman menyeret gerobak tanpa mengenakan alas kaki. “Beberapa hari ini telapak kaki rasanya perih kalau memakai sandal,” ujarnya.

Waktu menunjukkan pukul delapan malam ketika keduanya tiba di tempat biasa mereka tidur. Usman memarkir gerobaknya di pinggir jalan. Ia sengaja tak membawanya ke atas trotoar karena dilarang oleh satpam.

Usman dan istrinya menggelar karton untuk duduk sejenak di bawah pohon. Masih terlalu cepat untuk tidur. Orang-orang masih ramai berlalu lalang dan yang demikian tidak membuat mereka nyaman beristirahat. Jeda waktu ini digunakan untuk ngobrol-ngobrol dan bersenda gurau sekadar melepaskan penat seletah bekerja seharian.

Lampu jalanan memantulkan bayangan kami bertiga. Beberapa saat terjadi hening yang kering. Tangan Usman merogoh bungkus rokok dari saku kemejanya yang lusuh. Disulutnya sebatang dan dihisapnya dalam-dalam. Ia perlu suasana santai sebelum tidur. Dan kenikmatan itu bisa dihadirkan lewat nyala sebatang rokok.

Asap keluar dari mulut Usman. Mata tuanya mengikuti gerakan asap seolah ia ingin menitipkan beban hidup agar ikut menguap bersamanya. Sembari merokok, ia mulai bercerita. Beragam kisah meluncur dari mulutnya. Semua kisah bernada sama yaitu kerinduan akan kampung halaman.

Di sini, saya melihat keadaan yang ambigu. Di satu sisi mereka terjerat hutang. Tetapi di sisi lain Usman tak mengerem kebiasannya merokok agar bisa menyisihkan uang lebih. Mungkin baginya duduk ditemani sebatang rokok adalah satu-satunya hiburan yang bisa ia jangkau.

Di samping Usman, Rofiati mulai terkantuk-kantuk. Matanya yang sayu menandakan ingin segera dipejamkan. Ia meluruskan kaki kecilnya dan menyandarkan punggung pada pokok bougenvil. Satu hari akan mereka sudahi. Rokok Usman mulai memendek. Rofiati berkali-kali menguap. Saya pun berpamitan. Sudah saatnya membiarkan pasangan ini beristirahat dipeluk angin malam.

Minggu, 18 Januari 2015

Dilema Kamar Kos dan Ojek Kuper

Dilema Kamar Kos dan Ojek Kuper



Saya baru hidup di Jakarta dalam hitungan bulan. Sejujurnya, kota inilah yang paling saya hindari. Sejak kuliah, saya bilang sama teman-teman mau kerja di mana saja asal jangan di Jakarta. Kalaupun harus di Jakarta, itu hanya untuk training dan tidak lama. Tapi kini, saya justru mencari sesuap nasi di ibukota. Makanya ketika ketemuan dengan teman-teman, pertanyaan yang pasti muncul adalah, "Bukannya kamu bilang nggak mau ke Jakarta?" Dan saya hanya nyengir kuda.

Selama berbulan-bulan saya masih saja suka ‘jetlag’ dengan harga-harga fantastis di sini. Hidup di Jakarta, bisa dibilang semua harga dua kali lipat dibandingkan Jogja. Es teh manis empat ribu saja menurut saya mahal. Tapi menurut pandangan warga Jakarta, harga itu normal.

Pertama datang di kota yang dipimpin Ahok ini, saya harus berhadapan dengan kosan seharga Rp 450 ribu tapi dengan fasilitas amat sederhana. Kamar pertama saya di Jakarta berukuran 4,5x12 ubin. Ubinnya, itu lho, keramik persegi warna putih. Jadi kamar saya waktu itu memanjang. Bandingkan dengan kamar kos saya sebelumnya di Temanggung yang bisa diisi dipan ukuran double, meja, serta lemari tinggi yang dibanderol cuma Rp 180 ribu per bulan. Fiuhh.

Dengan harga Rp 450 ribu saya menerima kamar kos berkamar mandi luar. Kalau ingin kamar mandi dalam, saya harus merogoh kocek minimal Rp 750 ribu. Artinya dalam setahun saya harus mengeluarkan Rp 9 juta. Menurut saya ini kejam. Karena dengan harga Rp 500 ribu di Jogja, kita sudah mendapat kamar kos dengan kamar mandi dalam. Tapi nampaknya saya harus berhenti menjadikan Jogja sebagai parameter harga kalau saya tak ingin sakit hati melulu di sini. Saya harus move on dari Jogja yang serba murah dan meriah.

Kamar itu diisi satu lemari pendek ala anak kos dan satu spring bed ukuran single. Jika pagi menjelang, si kasur disandarkan ke tembok agar saya lebih leluasa jalan-jalan di kamar. Lagipula kalau tak disandarkan, kamar pintu kos saya hanya bisa terbuka separo. Hahaha.

Bapak kos, yang konon keluarganya pernah jadi yang terkaya se-Warung Buncit, berbaik hati meminjamkan sprei merah berlogo Manchester United. Belakangan sprei itu tidak pernah saya pakai. Saya mint dikirimkan sprei dari rumah. Saya sengaja tidak membeli sprei karena saya tipe orang yang memerlukan potongan rumah di mana pun saya tinggal. Saya juga tidur berselimutkan sarung milik ayah. Pokoknya harus ada bau rumah.

Kalau mau ambil baju di lemari, kasurnya diangkat dulu ya

 Setelah  bertahan sekitar empat bulan, akhirnya saya menemukan kos baru yang lebih luas dan nyaman. Memang lebih mahal,tapi lingkungan sekitarnya menurut saya lebih nyaman. Kos yang dulu terletak di perkampungan yang padat penduduk. Di sana hawanya selalu panas. Saya bahkan berkeringat tiap bangun pagi. Di kos yang sekarang yang saya tempati, udaranya lebih sejuk dan rumah-rumahnya tidak sepadat kos sebelumnya.

Satu lagi yang mahalnya membuat gemas adalah tukang ojek. Sebenarnya saya malas berurusan dengan tukang ojek. Masalahnya, tidak semua daerah di Jakarta dilalui angkutan umum. Misalnya, Sudirman Centre Business District (SCBD) dan Menteng. Dua tempat itulah yang paling sering bersinggungan dengan pekerjaan saya.Tidak ada tarif lima ribu dalam kamus tukang ojek. Membonceng jarak dekat minimal kita harus membayar Rp 10 ribu. Kalau kebetulan tuakng ojeknya baik, ya delapan ribu bolehlah.

Tukang ojek di Jakarta mayoritas buta arah. Atau pura-pura buta arah? Saya tak tahu. Setiap kali saya menunjuk satu daerah, pertanyaan pertama yang keluar dari mulut si tukang ojek adalah, “Itu di mana?”

Awalnya saya maklum karena mungkin si tukang ojek adalah orang perantauan jadi tak terlalu mengerti arah. Tapi sekali, dua kali, tiga kali, hingga berkali-kali saya menemui tukang ojek model begini. Seolah-olah sepanjang hidupnya hanya dihabiskan di pangkalan ojek dan tak ke mana-mana. Belakangan saya diberitahu redaktur di kantor kalau itu memang modus. Dengan berpura-pura tak tahu jalan, mereka meminta tarif yang tinggi dengan alasan ‘sudah berputar-putar mencari jalan’.

Salah satu pengalaman yang bikin saya dongkol adalah ketika dari SCBD saya mau geser liputan ke Senayan. Dari belakang Pacific Place menuju GBK, tukang ojek minta bayaran Rp 40 ribu!

Alasannya sama. “Kan muter dulu kalau mau ke Senayan,” kata tukang ojek dengan wajah datar.

Halo!

Halo!

Halo,
Saya bingung harus mulai dari mana postingan pertama saya di blog. Padahal, ini adalah blog kesekian yang saya buat sepanjang hidup. Hehehe..

Iya, sebelum umbarasa, saya sudah pernah bikin beberapa blog untuk menuntaskan hobi menulis. Sayangnya, akibat ketidakdisiplinan menulis akhirnya blog-blog itu lama menganggur. Kalau sekarang dibuka lagi, blog itu sudah penuh sarang laba-laba dan kecoa yang hilir mudik di lantai.

Jadi ketimbang saya repot membersihkan 'rumah lama' itu, saya memutuskan untuk membangun 'rumah baru'. Di rumah baru ini, saya berjanji (lagi) pada diri sendiri untuk rutin menulis. Sejak pindah dari Jogja ke Jakarta tahun lalu karena mendapat pekerjaan baru, saya makin kaya pengalaman. Apalagi pekerjaan saya memungkinkan bertemu orang baru setiap hari. Dari serentetan pengalaman itu, kadang terselip momen yang menurut saya menarik untuk diceritakan.Semacam cuplikan hal-hal remeh, konyol, dan sejenisnya. Maka inilah fungsi umbarasa: mengumpulkan remah-remah yang tercecer.

Awalnya saya kebingungan membuat alamat blog. Nama christi nampaknya amat umum sehingga tiap kali saya mengetikkan nama itu sebagai alamat blog (bahkan dengan sedikit modifikasi) tidak pernah bisa diterima. Saya menghindari membuat alamat dengan bahasa asing. Tidak ada alasan spesifik. Ya malas saja. Saya menyukai kata yang sederhana dan mudah diucapkan dan itu HARUS dalam bahasa Indonesia. Maka lahirlah umbarasa. Umbarasa terdiri atas dua kata, umbar dan rasa. Kayaknya nama ini juga tidak terlalu puitis-puitis amat, jadi kloplah. Lewat blog ini saya ingin mengumbar cerita dan rasa yang saya alami di kehidupan sehari-hari. Jadi, salam kenal dan selamat membaca ya.

:)
christi