Minggu, 14 Agustus 2016

Jangan Berjanji di Kaki Bromo

Hari Lentho memeras otak merancang pementasan Sendratari Roro Anteng dan Joko Seger. Tari yang dipentaskan pada malam upacara Yadnya Kasada itu ia persiapkan dua bulan lamanya. Sebanyak 43 anak-anak Suku Tengger dilibatkan dalam sendratari yang mengisahkan asal usul ritual Yadnya Kasada. “Tidak boleh ada satu adegan pun yang dihilangkan dalam alur cerita, semua harus ditampilkan utuh,” terang seniman asal Surabaya itu. Pemeran anak-anak Roro Anteng dan Joko Seger juga harus genap 25 anak. Tidak boleh kurang apalagi lebih.

Kasada adalah upacara wajib yang pantang ditinggalkan masyarakat Suku Tengger. Upacara ini merupakan perwujudan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi atas limpahan rezeki yang telah mereka terima. Tanah di sekujur Bromo memang terkenal sebagai tanah yang kaya unsur hara. Segala macam tanaman buah dan sayur tumbuh subur memberi hasil panen yang menggembirakan. 

Itulah sebabnya meski Gunung Bromo tengah erupsi dan berstatus Waspada sejak lima bulan terakhir, kondisi itu tak menghalangi digelarnya Kasada. Kasada adalah entitas masyarakat Tengger yang terus dilestarikan.

Nilai-nilai hakiki masyarakat adat Tengger, menurut Hari, tertuang dalam sendratari Roro Anteng dan Joko Seger. Tugas utamanya adalah menyampaikan nilai-nilai moral dalam pementasan berdurasi 30 menit. Nilai menonjol yang harus dicontoh dari suku Tengger adalah menyatunya perilaku, ucapan, dan hati. “Masyarakat Tengger dilarang berjanji karena kisah Roro Anteng dan Joko Seger berawal dari janji yang tidak ditepati,” ujar Hari berkisah usai pementasan.

Bagi masyarakat Tengger, menyatunya hati, ucapan, dan pikiran adalah nilai hidup yang tak bisa ditawar. Foto: AFP/Juni Kriswanto

Selama enam tahun membersamai masyarakat Tengger, seniman tari ini menyerap banyak kearifan lokal. Pernah ketika hendak pulang ke Surabaya, ia berkata akan kembali lagi ke Desa Ngadisari, desa terujung yang paling dekat dengan puncak gunung. Warga setempat buru-buru mengingatkan agar Hari meralat ucapannya. “Jangan berjanji,” ucapnya menirukan nasihat warga desa.

Demikian pula  pada persiapan sendratari kali ini. Hari memastikan tak ada satu adegan pun dari legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang ia pangkas. Penyampaian kisah yang utuh dimaknai sebagai pesan agar siapapun senantiasa menyampaikan kebenaran secara menyeluruh.

Beberapa waktu silam, Gunung Bromo sempat bergejolak dan memuntahkan hujan abu. Konon, masyarakat adat Tengger meyakini kehadiran rombongan mahasiswa KKN dari sebuah perguruan tinggi menjadi penyebab Bromo rewel. Mahasiswa mengajarkan anak-anak sendratari namun menghilangkan adegan pernikahan Roro Anteng dan Joko Seger.


Sendratari Roro Anteng dan Joko Seger pada Kasada 20 Juli 2016. Foto: dokumentasi pribadi

Vina Salviana dalam buku Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger menjelaskan konsep hidup masyarakat adat Tengger. Konsep hidup masyarakat adat Tengger adalah mengikuti ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti panca setya. Ajaran tersebut meliputi setya budaya (taat, tekun, mandiri), setya wacana (setia pada ucapan/perkataan), setya semaya (setia/menepati janji), setya laksana (patuh dan taat), dan setya mitra (setya kawan). Ajaran ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat adat Tengger.

Perilaku dan tindakan anggota masyarakat adat Tengger selalu diusahakan tidak melanggar adat istiadat dan aturan-aturan yang ada. Adapun aturan-aturan yang harus ditaati adalah tidak menyakiti atau membunuh binatang kecuali untuk korban dan dimakan, tidak mencuri, dan tidak berdusta. Tidak melakukan perbuatan jahat dan tidak minum minuman yang memabukkan.

Penulis lain dalam buku yang sama, Muhammad Hayat, mengemukakan ritual-ritual yang dilakukan masyarakat adat Tengger pada dasarnya adalah keinginan mereka agar alam tidak murka. Bagi mereka, kebutuhan agar tetap bertahan hidup yang bisa menyediakan adalah alam. Maka secara ekonomis tindakan rasional yang harus dilakukan adalah menyeimbangkan diri dengan alam.

Akibat ditegakkannya nilai-nilai luhur dan adat istiadat, angka kriminalitas di kalangan Suku Tengger mencapai nol persen. Maka jangan heran jika kabar kejahatan tak pernah berembus di lingkungan desa suku Tengger. “Jika ada yang melanggar aturan dipercaya akan memperoleh karma,” kata petinggi Desa Ngadisari, Supoyo. Karma apa yang akan diperoleh, tidak ada yang mengetahui secara pasti. Supoyo mengatakan karena patuhnya masyarakat Tengger, ia belum pernah mendapati ada warga desanya yang terkena karma. 

Dinginnya hawa di Bromo membuat masyarakat tak bisa lepas dari sarung dan penutup kepala. Foto diambil dari sini

Kekeramatan Gunung Bromo diawali dari cerita Roro Anteng dan Joko Seger. Alkisah, pasangan suami istri yang merupakan keturunan Kerajaan Majapahit ini memohon kepada Tuhan agar diberikan keturunan. Usia pernikahan mereka yang sudah berlangsung lama terasa gersang tanpa kehadiran buah hati.

Setelah berulang kali berdoa dan bersemedi, Tuhan mengabulkan permintaan pasangan ini. Namun ada satu syarat yang harus dipenuhi. Roro Anteng dan Joko Seger harus mempersembahkan anak terakhir mereka ke kawah Gunung Bromo. Keduanya menyanggupi syarat tersebut dan pasangan ini dikaruniai 25 anak. Sesuai janji yang sudah mereka ucapkan sebelumnya, anak terakhir yang bernama Kusuma harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.

Namun selayaknya orang tua, suami istri ini tak sampai hati merelakan anaknya dikorbankan ke kawah. Roro Anteng dan Joko Seger mengingkari janjinya. Keingkaran ini harus dibayar mahal. Sekonyong-konyong Gunung Bromo memuntahkan lava dan menimbulkan bencana. Langit diselimuti awan mendung disertai kilat yang tak berhenti menyambar. Roro Anteng dan Joko Seger bersimpuh ketakutan di lautan pasir memohon ampun kepada Sang Hyang Widhi atas kelancangan mereka.

Petir lantas menjilat tubuh Kusuma dan melemparkannya ke kawah Bromo. Bersamaan dengan lenyapnya Kusuma terdengarlah suara gaib. “Saudara-saudaraku, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Sang Hyang Widhi untuk menyelamatkan kalian semua. Hiduplah dengan damai dan sembahlah Sang Hyang Widhi. Aku ingatkan agar kalian mengadakan sesaji berupa hasil bumi setiap hari ke-14 bulan Kasada sebagai persembahan kepada Sang Hyang Widhi ke kawah Gunung Bromo,” demikian ucapan Kusuma sebagaimana diyakini masyarakat adat Tengger.

Upacara Yadnya Kasada tak boleh ditinggalkan meski Gunung Bromo tengah batuk-batuk. Foto diambil dari situs ini.

Cerita Roro Anteng dan Joko Seger dipercaya sebagai asal usul masyarakat Tengger. Jumlah keturunan Roro Anteng dan Joko Seger terus bertambah dan menghuni perdesaan di Kaki Gunung Bromo. Secara administratif  masyarakat Tengger tersebar di empat kabupaten yaitu Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang. Desa paling tinggi dan paling dekat dengan kawah Bromo adalah Desa Ngadisari di Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Kata Tengger ini sekaligus mengandung makna Tenggering Budi Luhur alias pengenalan moral tinggi. Ketaatan terhadap adat istiadat menjadi pengendali segala aspek kehidupan masyarakat Tengger.

Masyarakat Tengger adalah masyarakat yang terbuka terhadap perubahan tanpa meluluhkan adat istiadat yang sudah ada. Kondisi ini tercermin dari masih dipegangnya aturan-aturan adat di tengah maraknya pengembangan kawasan Bromo sebagai destinasi wisata. Pembangunan hotel serta membanjirnya wisatawan dari luar daerah dan mancanegara tak lantas membuat masyarakat lupa akan tradisi.

0 komentar:

Posting Komentar