Selasa, 04 Agustus 2015

Sketsa dari Pantura

Sketsa dari Pantura

Mobil berjalan lambat di atas aspal panas Pantura. Waktu menunjukkan pukul 12.35 yang artinya sudah lebih dari 12 jam kami menempuh perjalanan. Saya duduk di kursi belakang dan sibuk berselancar di dunia maya untuk membunuh waktu. Raul dan temannya duduk di bangku depan. Dua warga Spanyol itu berkali-kali melempar pertanyaan yang sama kepada sopir: Berapa jam lagi kita tiba di Jogja?

Pria di balik kemudi selalu menggelengkan kepala setiap kali dua warga asing itu resah. Sang sopir sendiri juga tak tahu kapan rombongan kami akan tiba di Kota Gudeg. Mobil kami berjalan amat pelan di antara mobil, motor, bus, dan bahkan truk. Lebaran tinggal dua hari lagi dan ratusan ribu pemudik merangsek ke jalan demi pulang ke kampung halaman. Inilah yang disebut sebuah harian di ibukota dengan headline: RI's Biggest Exodus Begins.

Mobil Nissan yang membawa enam penumpang dan satu sopir ini beranjak dari Jakarta pukul 12 malam. Dua belas jam kemudian, dengan tertatih-tatih, kami sampai di Brebes. Kaki saya mulai bengkak karena kurang bergerak.

Dua turis Spanyol, yang tak kebagian tiket pesawat ke Jogja, melempar pandangan heran ke arah jalan. Teman Raul mengeluarkan smartphonenya dan menjepret pemandangan para pemudik motor. Bagi dua warga asing itu, orang-orang Indonesia adalah orang pemberani. Orang Indonesia rela mengendarai motor sarat muatan dan mengajak anak istrinya menempuh perjalanan jauh. Mungkin bagi Raul dan kawannya, mudik adalah kegiatan yang absurd.
 

Hembusan dingin dari AC rupanya tak mampu meredakan kegalauan kami. Apalagi sejak berangkat kami belum sekali pun berhenti makan bahkan sekadar untuk menyantap sahur. Beruntung saya membawa bekal nasi sehingga meski sopir tidak berhenti di rest area saya tetap bisa sahur.

Sopir tak henti-hentinya menenggak Red Bull sambil bersungut-sungut. Saya hitung sejak berangkat hingga saat ini ia menghabiskan empat botol. Empat botol minuman berenergi tanpa tidur dan makan nasi selama 12 jam, buat saya ini seperti upaya menyakiti diri sendiri.

Pukul 12.44 sopir nampaknya benar-benar lelah. Akhirnya ia mengarahkan mobil ke warung sate. "Makan dulu mister," kata pak sopir sambil menguncupkan telapak tangan dan mengarahkan ke mulutnya sendiri. Aroma sate kambing langsung menyeruak ketika kami turun dari mobil.

Warung sate sederhana yang kami singgahi ramai didatangi para pemudik. Rata-rata para pemudik tidak berpuasa karena tidak kuat menahan hawa panas Pantura. Menembus kemacetan di kala puncak arus mudik memang sangat menguras tenaga. Saya, yang memutuskan untuk tetap berpuasa, memesan seporsi sate kambing plus nasi untuk berbuka.

"Berapa?" tanya saya ketika pelayan menyodorkan pesanan.
"Empat puluh empat ribu mbak," jawab si pelayan.
"Apa?" mata saya terbelalak mendengar harga yang fantastis itu.
"Seporsi sate empat puluh ribu, nasinya empat ribu," kata pelayan tak acuh.

Istirahat siang selesai, sopir kembali menggiring para penumpang masuk ke dalam mobil. Raul mengendikkan bahu kepada kawannya seolah keberatan jika harus menenggelamkan diri lagi ke dalam kemacetan. Sebaliknya, dua asisten rumah tangga yang duduk di sebelah saya tak tampak mengeluh. Bagi mbak-mbak itu, segala cara pantas dibayar asalkan bisa berlebaran di kampung halaman. Sedangkan bagi Yanto, penumpang yang sehari-hari bekerja menjaga toko di Roxy,  macet pun tak masalah asalkan H-1 ia bisa sampai di rumah.

"Supaya masih ada waktu mengecat rumah sebelum Lebaran, bapak dan simbok sudah tidak kuat lagi kalau kerja yang berat-berat," ujar Yanto.

Rute Brebes-Pemalang-Pekalongan benar-benar jadi rute yang menguji kesabaran. Pemberitaan bahwa ekonomi Indonesia melambat sehingga daya beli menurun tidak terbukti di ruas Pantura menjelang Lebaran. Bukan sekali dua kali saya melihat mobil yang masih mengkilap dengan plat nomor berwarna putih berseliweran. Jumlah mobil semakin membeludak sementara penambahan infrastruktur tak sebanding dengan laju pertumbuhan kendaraan.

Sekitar pukul sembilan malam akhirnya kami lepas dari Pekalongan dan masuk Weleri. Semua orang di dalam mobil menunjukkan raut wajah yang lelah. Namun wajah yang lelah itu kembali segar setelah kami berhenti makan malam di Temanggung. Pertama, makan memang mengembalikan energi. Dan kedua, Jogjakarta sudah semakin dekat. Saya melahap sate kambing dengan rakus karena buka puasa tadi hanya meminum air putih dan agar-agar. Sayangnya saya harus menelan kekecewaan karena separuh dari sate adalah lemak yang sudah tak nikmat jika disantap dingin. Ditambah lagi nasi yang saya terima sangat keras dan membuat saya melotot waktu menelannya.

Makan malam usai dan perjalanan kembali dilanjutkan. Akhirnya setelah menempuh perjalanan 24 jam, mobil kami tiba di Yogyakarta. Berhari-hari kemudian ketika saya sudah di Jakarta lagi, seorang teman bertanya, "Tahun depan masih mau mudik pakai travel?"