Minggu, 24 Januari 2016

Omah Munir Melawan Lupa

Rumah di Jalan Bukit Berbunga 2 Kota Batu, Malang itu nampak sederhana. Bagian depan rumah dibatasi pagar besi berwarna putih. Sepetak taman mungil dengan pohon palem menyambut siapapun yang datang ke rumah tersebut. Di bagian depan rumah tertera tulisan "Omah Munir".

Omah dalam bahasa Jawa berarti Rumah. Omah Munir merupakan rumah milik Suciwati Munir, istri almarhum aktivis HAM Munir. Suciwati sengaja menyulap hunian tersebut menjadi museum untuk mengenang sepak terjang sang suami. Meski Munir telah tiada namun dengan adanya Omah Munir kisah perjuangannya tak akan lekang oleh waktu.

Tampak depan Omah Munir

Munir lahir di Malang 8 Desember 1965. Omah Munir diresmikan tiga tahun silam bertepatan dengan tanggal lahirnya yakni 8 Desember 2013. Di rumah yang luasnya setengah lapangan futsal itu dipajang berbagai memorabilia milik Munir. Omah Munir dibagi menjadi tujuh bagian. Bagian-bagian rumah meliputi kantor pusat dan informasi, ruang utama display perjuangan munir, ruang kisah Munir dan Kontras, ruang koleksi dan peristiwa, dinding kisah Munir dan keluarga, ruang baca dan //meeting room//, serta kafe dan toko souvenir.

Ketika memasuki pintu rumah, pengunjung dapat melihat meja kerja Munir tatkala ia menjadi pejuang kemanusiaan di LBH Surabaya. Kadang meja itu menjadi tempat tidur Munir saat malam hari. Berkeliling Omah Munir kita dapat menebak bahwa semasa hidup ia adalah aktivis yang cerdas namun sederhana. Sederet penghargaan dari dalam dan luar negeri dialamatkan kepada Munir atas jasa-jasanya dalam penegakan HAM di tanah air.

Salah satu sudut di Omah Munir
Kesederhanaan alumnus Universitas Brawijaya tersebut tercermin dari benda-benda yang dipamerkan di Omah Munir. Tidak ada kemewahan dari barang-barang pribadi Munir. Sehari-hari ia gemar mengenakan jaket kulit yang sudah berlubang di beberapa titik dan kaos oblong. Kemeja, sepatu usang, dan jam tangan yang mayoritas berwarna hitam juga jauh dari kesan mewah. Penampilan Munir yang sangat membumi ini seolah menyatakan keberpihakannya kepada //wong cilik//. Sejak bergabung dengan LBH Surabaya, Munir memang menaruh minat pada advokasi buruh.

Naas, perjuangan anak dari Said Thalib dan Jamilah ini harus berakhir karena ia meninggal setelah meminum kopi yang dibubuhi arsenik. Ia diduga diracun saat singgah di Coffee Bean Bandara Changi Singapura pada 7 September 2004. Munir meninggal sekitar pukul 10.00 saat pesawat berada di langit rumania.

Sepatu usang ini sehari-hari menemani alm. Munir beraktivitas
Pada hari-hari biasa Omah Munir memang tak ramai pengunjung. Namun secara berkala di tempat ini sering diadakan diskusi dan pemutaran film mengenai HAM. Peminatnya pun membludak dan didominasi mahasiswa. Seorang pengunjung bernama Putra Dwi Aditya mengatakan keberadaan Omah Munir sangat bermanfaat bagi para generasi muda untuk lebih mengenal Munir. Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional UNS ini mengungkapkan selama ini ia memang tertarik pada sosok Munir. "Saya diberitahu teman mengenai Omah Munir dan ketika berkunjung ke Malang saya sempatkan ke sini," katanya saat ditemui pada Kamis (21/1).

Namun menurut Putra keberadaan Omah Munir kurang mencolok dan masih kurang terpublikasi. Putra menjelaskan di antaranya teman-teman kampusnya masih banyak yang belum tahu Omah Munir. Padahal museum ini sangat baik sebagai sarana edukasi sekaligus sebagai tanda perlawanan menolak lupa pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum tuntas.

0 komentar:

Posting Komentar