Selasa, 29 Desember 2015

Burung Surga yang Belum Diterima

Burung Surga yang Belum Diterima

Jelang akhir 2015, Kementerian Pemuda dan Olahraga merilis maskot yang akan digunakan dalam perhelatan ASIAN Games 2018. Dalam gelaran akbar tersebut pemerintah mengambil tokoh burung cendrawasih yang mengenakan pakaian pencak silat sebagai representasi dari Indonesia.

Bird of Paradise. Photo taken from Pinterest.

Alih-alih mendapat pujian, maskot bernama Drawa itu justru mendulang kritikan dari berbagai lapisan masyarakat.

"Desain maskot Asian Games yang jadul itu mungkin cermin betapa kakunya aturan birokrasi." -Wicaksono-
(@ndorokakung)

Menciptakan maskot memang tidak mudah, ada filosofi-filosofi tertentu yang terkandung dalam suatu karakter sehingga ia dipilih menjadi maskot. Akan tetapi pertimbangan filosofis bukan berarti mengesampingkan estetika. Dari waktu ke waktu desain maskot bikinan Indonesia selalu terkesan kurang 'mbois' dan kurang 'cute'.

Cuitan itu hanyalah satu dari membludaknya komentar soal Drawa. Munculnya kritikan atas burung khas Papua itu sangat beralasan mengingat tampilan Drawa yang terkesan jadul dan seadanya. Warna maskot ASIAN Games 2018 bisa dibilang kusam dan muncul dengan pose serta mimik wajah yang kaku. Tiap bagian tubuh Drawa hanya diblok satu warna yang monoton. Saya pun ketika pertama kali melihat Drawa, bingung menafsirkan sosok apakah ia. Antara ayam atau burung antah berantah.

Drawa seperti dibuat oleh seorang desainer di era 1950-an kemudian dikirimkan ke 2015 menggunakan mesin waktu. Tatkala membaca berbagai hujatan yang beredar di linimasa, mungkin sang pencipta maskot tengah teriris-iris hatinya. Namun apa mau dikata memang si Drawa ini tidak kekinian sama sekali. Desain maskot Olympiade 1980 di Rusia pun jauh lebih futuristik dibandingkan Drawa padahal keduanya berasal dari era yang berbeda. Di ranah instagram, komentar-komentar yang dialamatkan pada maskot yang baru lahir ini bahkan jauh lebih sadis. Ada yang mengomentari mirip maskot Chiki dan ada yang bilang si Drawa seperti banner penjual ayam goreng. Netizen lain ada yang cukup mengeluarkan satu kata namun langsung menghujam ulu hati: pathetic. Apes benar nasib Drawa, padahal ia baru diluncurkan pada 27 Desember 2015 oleh Wapres Jusuf Kalla.

Drawa dianggap gagal menunjukkan keindahan burung cendrawasih yang kerap dijuluki bird of paradise. Banyak pihak kemudian membanding-bandingkan dengan maskot ASIAN Games pada tahun-tahun sebelumnya.

Masyarakat bertanya-tanya mengapa pemerintah selalu terpaku pada selera yang itu-itu melulu. Padahal, Indonesia dipenuhi talenta-talenta muda nan penuh ide. Saya memang bukan desainer grafis. Saya hanyalah orang awam yang penasaran apa susahnya bagi pemerintah/panitia ASIAN Games 2018 menunjuk seorang desainer berbakat? Toh Indonesia tidak kekurangan orang-orang kreatif. Ambil contoh, Bayu Santoso yang desainnya berhasil dipilih menjadi cover album Maroon 5 untuk album "V".

Saya yakin kreativitas orang-orang Indonesia tidak kalah dari negeri sebelah yang jago bikin maskot lucu-lucu. Orang-orang kreatif cuma perlu diberi kesempatan untuk unjuk gigi menampilkan karya terbaiknya.

Kasus Drawa mengingatkan kita pada kasus pembuatan logo kota Yogyakarta pada Oktober 2014. Kala itu kehadiran logo baru dianggap terlalu absurd dan menjadi bahan candaan netizen. Huruf-huruf yang harusnya terbaca "JOGJA" malah lebih banyak diplesetkan menjadi "TOGUA". Dari segi estetika, logo baru "TOGUA" pun tidak menarik sama sekali. Gelombang protes menyerang logo baru tersebut. Alhasil pemda cepat-cepat merevisi logo Kota Gudeg ini.

Dalam kasus Drawa, untungnya Menpora Imam Nahrawi membuka celah untuk merevisi bentuk si Drawa. Setidaknya masyarakat Indonesia dapat bernafas lega dapat terhindar dari potensi dicibir bangsa-bangsa lain terkait maskot tersebut. Kita tentu saja tidak ingin mendengar orang asing melempar tanya, "Hey man, what the hell is that?" "Cendrawasih? Are you kidding me?"

Pedih lah ya.

Senin, 23 November 2015

Jajan Pasar dan Jamu Gendong Sosialita

Jajan Pasar dan Jamu Gendong Sosialita

"Enak ya kamu Chris, sering gaul sama artis dan orang-orang kaya," kira-kira begitulah komentar teman saya suatu hari. Kalimat itu meluncur tatkala ia mengetahui saya masih ribet meliput acara sebuah komunitas orang-orang berduit padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Saya cuma mesam-mesem membaca Whatsapp itu. Iya sih, ada benarnya tapi juga tidak sepenuhnya benar. Enaknya adalah minimal wawasan kuliner saya nambah dan tidak monoton. Selain menu Warteg Ibu Sunda depan kosan dan pecel lele sebelah Ind*maret, lidah saya jadi termanjakan dengan makanan-makanan enak yang bahkan namanya saja saya kadang belibet mengucapkan.
Bicara soal sosialita dan makanan, ternyata tidak semua makanan yang disantap orang-orang berkantong tebal itu benar-benar makanan elit.

Mereka juga doyan makan makanan "kelas dua" alias makanan yang biasanya dianggap makanan ndeso. Nagasari, apem, clorot (ini apa sih bahasa indonesianya saya belum nemu), lupis, atau gethuk. Tapi namanya juga menyasar segmen berduit, harga dan pengemasan juga berbeda dibandingkan dengan yang biasa saya dan teman-teman semua makan. Suatu hari saya mencari tahu harga untuk satu porsi lupis yang dijual di sebuah toko makanan kelas atas di jantung ibukota. Seporsi makanan tradisional berbahan dasar ketan itu dihargai Rp 9 ribu rupiah. Pun untuk jajanan pasar lain macam pastel dan gethuk, rata-rata harga yang ditawarkan antara Rp 7 ribu - Rp 10 ribu per biji/per porsi.

Ingatan saya tiba-tiba melayang pada satu sudut di Pasar Lempuyangan. Di sana, simbok-simbok dan budhe-budhe penjual lupis dan thiwul dengan senang hati melepas dagangannya dengan harga tak lebih dari Rp 5 ribu per porsi. Saya juga jadi membayangkan sepenggal jalan di selatan Dusun Kembangarum dimana terdapat warung jajan pasar super ramai. Per biji pastel, lumpia, dan kawan-kawannya cukup ditebus dengan harga Rp 1.500 - Rp 2.000 saja. Gerobak jajan pasar yang mangkal tiap pagi di dekat kosan saya juga menjual jajan pasar yang harganya 11-12 dengan Pasar Lempuyangan. Namun berkat kelihaian manusia menguasai ilmu marketing, makanan ndeso itu langsung naik kelas karena dijual di mal dan disemati label toko makanan. Harga bakal melonjak jadi ratusan ribu jika pembeli memesan dalam bentuk tampahan yang berisi aneka macam jajan pasar.

Di satu sisi fakta ini jadi berita baik karena makanan tradisional Indonesia ramai diminati berbagai kalangan, bahkan kalangan atas. Tapi di sisi lain saya jadi mikir betapa mahalnya harga kemewahan yang harus orang kaya bayar untuk menikmati hal-hal yang menurut kita murah dan sederhana. "Jajan pasar yang dijual di toko saya sebagian besar diambil dari industri rumahan," kata sang pemilik toko. Wah, ternyata sumbernya juga sama dengan makanan yang dijual di pasar. Kirain bikinan ahli masak terkenal. Hehe... Tapi apa yang dilakukan ini tentu saja baik untuk memberdayakan home industri. Sayangnya saya lupa bertanya berapa harga yang dia bayarkan ke home industri atas produk-produk jajan pasar ini (tapi kayaknya tidak bakal dijawab juga sih...hehe).



Kali lain saya meliput acara sore-sore, nama acaranya "Jagongan". Undangan yang saya terima mendeskripsikan acara itu sebagai acara ngemil-ngemil santai di museum. Sesampainya di lokasi, para pengunjung disuguhi hamparan tikar dari anyaman bambu. Di tempat itu disediakan berbagai menu yang merakyat semisal nasi pecel dan tempe goreng. Minumannya pun tak kalah tradisional, jamu gendong. Ada pula teh serai dan teh kayu manis. Maka berseliweranlah para pelayan dengan bergelas-gelas kunyit asam, beras kencur, dan kawan-kawan sejenisnya. Para pengunjung, yang di dalamnya terdapat kumpulan istri para direktur BUMN, juga nampak lahap menikmati sepincuk nasi pecel. Buat saya yang wong cilik, ini sama sekali tidak istimewa. Lha wong di tanah Mataram saya sudah sehari-harinya begini. Tetapi hidangan yang menurut saya amat sederhana dan lugu ini rela ditebus para sosialita dengan tiket seharga Rp 150 ribu. Iya, mereka bayar ratusan ribu hanya untuk makan pecel dan minum jamu di atas tikar bambu. Walah...

Saya, yang ilmunya super terbatas ini, jadi tidak paham dengan definisi 'mewah' dan 'elit' menurut kaum berduit. Apakah saking kaya dan modern seseorang, ia semakin tidak sempat menikmati hal-hal murah dan lumrah di dekatnya? Ataukah semakin bergelimang harta maka mahal harga yang harus ia bayar untuk membeli kesederhanaan? Entahlah.


Photo credit: Kaskus.co.id

Jumat, 04 September 2015

Dunia Tanpa Televisi

Dunia Tanpa Televisi

Sudah hampir empat tahun saya tidak berinteraksi dengan televisi. Terhitung sejak menjadi anak kost pada 2011, hari-hari saya jauh dari kotak ajaib itu. Hubungan mesra antara saya dan televisi hanya terjadi ketika saya pulang ke rumah atau mengunjungi rumah kerabat. Jadi ketika saya mudik, kendali remote control ada di tangan saya. Mungkin semacam balas dendam akibat sok-sokan menghindari televisi selama di kost.

"Mbak! Mbok diganti acaranya jangan yang itu," pinta si adek ketika suatu hari saya menonton televisi di rumah.

"Biarin to, kasihan orang primitif nggak pernah nonton TV," sahut ayah.

Saya cuma bisa ngakak tanpa beranjak dari kursi empuk ruang tengah.

Pada dasarnya saya suka menonton TV, tapi menurut saya tontonan yang ditayangkan makin hari makin tidak menggugah selera. Ada tiga jenis acara yang menjadi favorit saya, berita, acara musik, dan talkshow. Apa lacur, setiap kali menyalakan TV saya hanya menjumpai acara-acara yang tidak sesuai dengan minat saya.

Band-band beraliran musik Melayu mendominasi acara musik pagi. Saya tidak bilang musik Melayu yang mendayu itu tidak bagus. Buktinya saya doyan mendengarkan Fatwa Pujangganya Victor Hutabarat. Yang membuat musik itu tidak bagus adalah cara musisinya tampil dan membawakan lagunya. Sebagai anak yang besar di era 90-an, saya dan teman-teman seangkatan terbiasa mendengarkan lagu dengan lirik yang puitis dan dalam. Nama-nama seperti Dewa 19, Padi, Sheila on 7, Jikustik, atau Elemen menjadi jaminan mutu sebuah lagu. Bahkan hingga hari ini lagu-lagu jadul mereka tetap enak untuk dinikmati.

Bandingkan dengan band-band yang muncul saat ini. Kemunculan band aliran melayu satu selalu diikuti kemunculan band lain yang sejenis, sampai kami tak sempat mengingat namanya. Namun bagi kami generasi 90an, penampilan band saat ini tidak memuaskan selera musik kami. Lirik lagunya jauh dari kata puitis. Coba bandingan "hamparan langit maha sempurna bertahta bintang-bintang angkasa, namun satu bintang yang kupuja teruntai turun menyapaku" dengan "yank coba kau jujur padaku, yank foto siapa di dompetmu, yank kok kamu diam membisu, sayank jawab atau aku pergi sayank".

Hehe...



Lebih baik main ke luar daripada menonton tontonan palsu. Sumber gambar: speckyboy

Generasi yang beranjak remaja pada 2006 ke atas juga disuguhi girlband dan boyband Indonesia rasa Korea. Dengan penampilan glamour dan seragam, mereka menghentak layar kaca. Menyanyi mereka rombongan seperti mau naik haji. Setiap lagu yang dibawakan selalu disertai dengan koreografi yang membosankan. Tentu saja kualitas boyband dan girlband Indonesia masih jauh dari kualitas boyband dan girlband asal negeri ginseng.

Di Korsel, rekruitmen anggota boyband/girlband dilakukan sejak mereka masih remaja. Setelah berhasil lolos, para calon bintang itu ditraining bertahun-tahun mengenai musik, koreografi, dan akting. Setelah dinilai matang, barulah agensi berani mengorbitkan mereka. Hasilnya, mereka tak hanya menjadi penyanyi namun juga entertainer profesional yang mampu menyuguhkan hiburan memesona kepada para penggemarnya. Bandingkan dengan proses pembentukan boyband dan girlband ala-ala di Indonesia.

Susah rasanya kalau hari ini kita diminta menyebutkan grup vokal yang bisa seklasik Trio Libels, AB Three, atau RSD. Era memang terus bergulir. Setiap seniman punya penggemarnya masing-masing.

Untungnya ada Youtube.

Lewat Youtube saya masih bisa menyaksikan penampilan musisi-musisi lawas. Saya juga dipuaskan dengan penampilan musisi masa kini dengan musikalitas tinggi namun jarang muncul di TV. Lewat Youtube, saya bisa menikmati penampilan apik Tulus, Judika, atau Teza Sumendra. Saya juga bisa sepuasnya menonton Sounds from The Corner secara maraton.

Dunia tanpa televisi rupanya juga berhasil menjauhkan saya dari 'ghibah artis'. Sebagaimana kita tahu, tayangan infotainment kian menjamur di televisi dari pagi hingga sore. Sayangnya infotainment di Indonesia mayoritas sudah jauh bergeser dari kata 'informatif'. Infotainment malah konsisten membuka kebobrokan artis dan selebritas hingga kerak terbawah. Media lebih doyan memberitakan pasangan yang kawin cerai ketimbang prestasi seniman Indonesia di mancanegara.

Wajah-wajah yang hilir mudik di layar kaca seolah-olah berlomba mencari ketenaran lewat sensasi, bukan prestasi. Pernikahan pasangan artis bahkan 'harus banget' disiarkan seharian penuh di televisi, seolah-olah acara itu semacam royal wedding yang wajib diketahui rakyat se-Indonesia. Tidak cukup hanya pernikahan, prosesi kelahiran sang jabang bayi juga 'harus banget' disiarkan live. Tempo hari seorang penyanyi dangdut terbentur skandal foto topless di akun Instagramnya. Dengan mimik muka panik, ia mengaku  kalau Instagramnya dibajak. Terlepas dari jujur tidaknya pengakuan sang artis, haruskah melakukan hal serendah itu untuk mencapai pucuk tertinggi?

Menonton televisi tidak lagi menjadi kegiatan yang mengasyikkan manakala setiap menekan tombol power di remote yang muncul adalah sinetron percintaan ABG labil. Sinetron yang tayang di jam-jam prime time malah menyuguhkan drama romantika manusia setengah serigala yang jauh dari kata mendidik. Ada pula sinetron yang melabeli diri sebagai 'sinetron religi'. Namun nampaknya sang sutradara malas menggali ilmu agama lebih dalam sebelum memproduksi sinetron.

Maka terjadilah alur klise sinetron religi dimana selalu ada tokoh yang sangat lemah namun religius dan berhadapan dengan tokoh super jahat yang tidak mengenal Tuhan. Semua karakter tokoh digambarkan hitam atau putih tanpa adanya konflik berarti yang menguras emosi. Di akhir cerita, sang tokoh baik selalu menang sedangkan si jahat bertobat atau justru mati.

Ada lagi, kalau rating sinetron ternyata bagus maka stasiun tivi akan terus menayangkan sinetron tersebut setiap hari. Tak peduli episode sudah mencapai ratusan (bahkan ribuan) atau alur cerita melenceng jauh dari judul.

Kami memang butuh tontonan yang mendidik. Tapi jika yang dihadapkan pada kami adalah sinetron religi yang kebanyakan hanya mengandalkan kecantikan/ketampanan pemain namun miskin eksplorasi, pesan apa yang ingin disampaikan?

Keluarga cemara, Si Doel Anak Sekolahan, atau Satu Kakak Tujuh Ponakan bukanlah sinetron religi. Namun setiap episodenya selalu membawa pesan moral. Baik dari dialog yang keluar dari mulut para pemain maupun alur cerita yang dalam tapi tetap sederhana. Kita  patut berterima kasih kepada Dedi Mizwar yang setiap Ramadhan tak pernah absen menyuguhkan sinetron Para Pencari Tuhan. PPT seakan menjadi oase di tengah serbuan sinetron-sinetron yang hanya menonjolkan materialisme dan tampang keren para pemain.

Apa kabar ya pola pikir adik-adik kita yang masih SD jika setiap hari disuguhkan sinetron yang mengumbar aurat, materialisme, dan kisah cinta manusia setengah serigala?

Menjamurnya tayangan televisi yang demikian parahnya membuat sejumlah stasiun televisi kena semprit KPI. Acara dagelan dan musik yang terlalu banyak mengumbar hinaan fisik dan komedi slapstick sempat dihentikan penayangannya sementara. Sinetron yang memamerkan kemesraan berlebih juga kena sentil KPI.

Tapi akan sampai kapankah tontonan tidak bermutu itu terus wara-wiri di layar kaca? Sebagai orang awam saya masih belum paham, apakah media yang membentuk selera masyarakat? Atau sebenarnya masyarakatlah yang secara tidak sadar menggiring media untuk terus menerus menyiarkan tontonan tak bermutu?

Kondisi pertelevisian yang compang-camping dalam menyuguhkan hiburan membuat saya masih betah menjalani hari tanpa televisi. Tidak semua stasiun televisi buruk sih. Masih ada NET dan Kompas TV yang layak tonton tanpa menyebabkan sakit mata dan sakit jiwa. :D

"Kamu ini lho suka menyiksa diri sendiri, tinggal beli tivi murah ada kok yang harganya di bawah sejuta," saran seorang teman.

Kebetulan saya sedang tidak menyiksa diri sendiri. Lagipula saya tidak pernah kesepian meski hidup tanpa televisi. Saya dikelilingi teman-teman yang menyenangkan dan ritme kerja yang dinamis. Bisa dikatakan setiap akhir pekan saya dan teman-teman selalu punya agenda menarik yang menjauhkan kami dari televisi. Justru dengan tidak adanya televisi, saya dan teman-teman satu kos lebih akrab karena sering mengobrol. Dan yang paling penting, saya tidak perlu mengeluarkan tambahan biaya listrik kos karena membawa televisi.

Hehe..

Saya tidak tahu kapan hati saya akan tergerak membeli televisi. Bisa dalam waktu dekat atau masih lama. Atau mungkin besok saja kalau saya sudah menikah dan tinggal bersama suami. Saya juga tidak tahu. Kalaupun saat ini saya disuruh membeli televisi, saya masih pikir-pikir dulu. Tapi kalau ada yang berbaik hati memberi, tentu saja dengan senang hati saya terima. :P

Selasa, 04 Agustus 2015

Sketsa dari Pantura

Sketsa dari Pantura

Mobil berjalan lambat di atas aspal panas Pantura. Waktu menunjukkan pukul 12.35 yang artinya sudah lebih dari 12 jam kami menempuh perjalanan. Saya duduk di kursi belakang dan sibuk berselancar di dunia maya untuk membunuh waktu. Raul dan temannya duduk di bangku depan. Dua warga Spanyol itu berkali-kali melempar pertanyaan yang sama kepada sopir: Berapa jam lagi kita tiba di Jogja?

Pria di balik kemudi selalu menggelengkan kepala setiap kali dua warga asing itu resah. Sang sopir sendiri juga tak tahu kapan rombongan kami akan tiba di Kota Gudeg. Mobil kami berjalan amat pelan di antara mobil, motor, bus, dan bahkan truk. Lebaran tinggal dua hari lagi dan ratusan ribu pemudik merangsek ke jalan demi pulang ke kampung halaman. Inilah yang disebut sebuah harian di ibukota dengan headline: RI's Biggest Exodus Begins.

Mobil Nissan yang membawa enam penumpang dan satu sopir ini beranjak dari Jakarta pukul 12 malam. Dua belas jam kemudian, dengan tertatih-tatih, kami sampai di Brebes. Kaki saya mulai bengkak karena kurang bergerak.

Dua turis Spanyol, yang tak kebagian tiket pesawat ke Jogja, melempar pandangan heran ke arah jalan. Teman Raul mengeluarkan smartphonenya dan menjepret pemandangan para pemudik motor. Bagi dua warga asing itu, orang-orang Indonesia adalah orang pemberani. Orang Indonesia rela mengendarai motor sarat muatan dan mengajak anak istrinya menempuh perjalanan jauh. Mungkin bagi Raul dan kawannya, mudik adalah kegiatan yang absurd.
 

Hembusan dingin dari AC rupanya tak mampu meredakan kegalauan kami. Apalagi sejak berangkat kami belum sekali pun berhenti makan bahkan sekadar untuk menyantap sahur. Beruntung saya membawa bekal nasi sehingga meski sopir tidak berhenti di rest area saya tetap bisa sahur.

Sopir tak henti-hentinya menenggak Red Bull sambil bersungut-sungut. Saya hitung sejak berangkat hingga saat ini ia menghabiskan empat botol. Empat botol minuman berenergi tanpa tidur dan makan nasi selama 12 jam, buat saya ini seperti upaya menyakiti diri sendiri.

Pukul 12.44 sopir nampaknya benar-benar lelah. Akhirnya ia mengarahkan mobil ke warung sate. "Makan dulu mister," kata pak sopir sambil menguncupkan telapak tangan dan mengarahkan ke mulutnya sendiri. Aroma sate kambing langsung menyeruak ketika kami turun dari mobil.

Warung sate sederhana yang kami singgahi ramai didatangi para pemudik. Rata-rata para pemudik tidak berpuasa karena tidak kuat menahan hawa panas Pantura. Menembus kemacetan di kala puncak arus mudik memang sangat menguras tenaga. Saya, yang memutuskan untuk tetap berpuasa, memesan seporsi sate kambing plus nasi untuk berbuka.

"Berapa?" tanya saya ketika pelayan menyodorkan pesanan.
"Empat puluh empat ribu mbak," jawab si pelayan.
"Apa?" mata saya terbelalak mendengar harga yang fantastis itu.
"Seporsi sate empat puluh ribu, nasinya empat ribu," kata pelayan tak acuh.

Istirahat siang selesai, sopir kembali menggiring para penumpang masuk ke dalam mobil. Raul mengendikkan bahu kepada kawannya seolah keberatan jika harus menenggelamkan diri lagi ke dalam kemacetan. Sebaliknya, dua asisten rumah tangga yang duduk di sebelah saya tak tampak mengeluh. Bagi mbak-mbak itu, segala cara pantas dibayar asalkan bisa berlebaran di kampung halaman. Sedangkan bagi Yanto, penumpang yang sehari-hari bekerja menjaga toko di Roxy,  macet pun tak masalah asalkan H-1 ia bisa sampai di rumah.

"Supaya masih ada waktu mengecat rumah sebelum Lebaran, bapak dan simbok sudah tidak kuat lagi kalau kerja yang berat-berat," ujar Yanto.

Rute Brebes-Pemalang-Pekalongan benar-benar jadi rute yang menguji kesabaran. Pemberitaan bahwa ekonomi Indonesia melambat sehingga daya beli menurun tidak terbukti di ruas Pantura menjelang Lebaran. Bukan sekali dua kali saya melihat mobil yang masih mengkilap dengan plat nomor berwarna putih berseliweran. Jumlah mobil semakin membeludak sementara penambahan infrastruktur tak sebanding dengan laju pertumbuhan kendaraan.

Sekitar pukul sembilan malam akhirnya kami lepas dari Pekalongan dan masuk Weleri. Semua orang di dalam mobil menunjukkan raut wajah yang lelah. Namun wajah yang lelah itu kembali segar setelah kami berhenti makan malam di Temanggung. Pertama, makan memang mengembalikan energi. Dan kedua, Jogjakarta sudah semakin dekat. Saya melahap sate kambing dengan rakus karena buka puasa tadi hanya meminum air putih dan agar-agar. Sayangnya saya harus menelan kekecewaan karena separuh dari sate adalah lemak yang sudah tak nikmat jika disantap dingin. Ditambah lagi nasi yang saya terima sangat keras dan membuat saya melotot waktu menelannya.

Makan malam usai dan perjalanan kembali dilanjutkan. Akhirnya setelah menempuh perjalanan 24 jam, mobil kami tiba di Yogyakarta. Berhari-hari kemudian ketika saya sudah di Jakarta lagi, seorang teman bertanya, "Tahun depan masih mau mudik pakai travel?"

Senin, 29 Juni 2015

Rindu yang Mengganggu

Rindu yang Mengganggu

Ramadhan sudah memasuki hari kedua belas. Pekan lalu di seberang telepon, ibu kembali bertanya kapan saya pulang. Saya pun (kembali) melontarkan jawaban yang sama: belum tahu karena masih menunggu jadwal libur kantor.

Sudah delapan bulan saya tidak pulang. Untuk jarak seukuran Jakarta - Yogyakarta dan dengan menyandang status belum berkeluarga, sesungguhnya 'pulang ke rumah' bukanlah sesuatu yang rumit. Kecuali urusan pekerjaan, tidak ada beban berarti yang menghalangi saya untuk pulang sewaktu-waktu.

Sayangnya sebagai anak baru saya belum mendapat jatah cuti. Jadwal liputan, meski tidak setiap hari, tapi mengharuskan para reporter untuk stand by sewaktu-waktu. Anak-anak media pasti tahu bagaimana rasanya ketika sedang asyik bersantai tahu-tahu redaktur yang tercinta memberi order liputan. Maka dengan jatah libur yang singkat dan terbatas, saya jadi malas untuk pulang ke rumah.

Jatah libur lebih sering saya gunakan untuk berkumpul dan jalan bersama teman-teman. Mumpung masih free tidak ada salahnya kami rajin mengeksplor tempat-tempat menarik di Jakarta dan sekitarnya.

Tapi sebahagia-bahagianya saya di Jakarta, rasa kangen untuk pulang akhirnya datang juga. Sudah sejak dua bulan lalu saya kepingin buru-buru menghirup lagi hawa Yogyakarta. Saya kangen rumah sederhana di kaki Gunung Merapi tempat keluarga kecil kami tinggal. Saya kangen suara kokok ayam di pagi hari yang diiringi hawa dingin menusuk kulit.

Saya rindu jalanan rindang di Kotabaru-Lempuyangan-Gayam, tempat di mana saya menghabiskan dua puluh tahun pertama dalam hidup. Saya ingin merasakan lagi jajanan Yogyakarta yang serba murah dan meriah.


Sudut di Yogyakarta yang instagramable dan paling banyak diabadikan

Yogyakarta memang telah berganti rupa. Ia tak lagi menjadi puteri Keraton yang ayu dan sederhana. Tubuhnya kini telah digantungi perhiasan-perhiasan gemerlap berupa deretan mall-mall mewah, hotel berbintang, dan tempat hiburan malam. Yogyakarta perlahan menjelma menjadi gadis metropolitan. Meski demikian masih banyak sudut-sudut bersahaja di Yogyakarta yang menawarkan nostalgia.

Tapak kaki kuda masih setia beradu dengan aspal Malioboro, segelas es teh masih bisa ditebus dengan harga Rp 3 ribu rupiah, dan kita dengan betahnya ngetem lama di angkringan walau hanya berbekal nasi kucing dan sate usus. Betapa ngangeninya kesederhanaan di Yogyakarta.


Siomay Kotabaru, salah satu kuliner enak dan ramah kantong di Kota Pelajar

Di Jakarta semua serba bayar dan serba mahal. Untuk membeli sebotol minuman dingin di convenience store saja kita ditarik jatah parkir Rp 2 ribu. Tetapi bagaimanapun, kota ini adalah tempat saya mencari sesuap nasi. Si bijak berkata jangan meludah di sumur yang airnya kita minum. Jakarta, dengan semua sisi gelap dan terangnya sudah banyak memberi pelajaran dan penghidupan kepada saya.

Buat para pendatang, kampung halaman tentu memiliki tempat tersendiri di hati. Lebaran tahun ini saya harus pulang. Yang lama. Sebahagia-bahagianya saya di Jakarta, rasa kangen untuk pulang akhirnya datang juga.

Senin, 15 Juni 2015

Separuh Jalan

Separuh Jalan

Ancaman kenyamanan adalah ketumpulan. itu yang saya rasakan akhir-akhir ini. Di kala frekuensi liputan tidak sepadat dulu dan banyak waktu longgar, saya merasa ilmu saya justru tidak berkembang. Kehidupan yang terlalu santai ternyata membosankan. Gawatnya ketumpulan ini mengancam sederet target yang sudah dengan semangat saya kumpulkan di awal tahun.

Waktu tak pernah mau menunggu. Tahu-tahu 2015 sudah separuh jalan dan kurang dari seminggu memasuki bulan puasa. Dalam sebuah sambungan telepon dengan seorang sahabat di pengujung 2014, kami berdua sama-sama menceritakan target masing-masing di tahun yang akan datang. Kami saling menyemangati. Namun juga saling mencaci. Kita pasti sepakat manusia tidak hanya tumbuh dari pujian.
Picture taken from here

Enam bulan berlalu dan sudah saatnya menengok lagi apa-apa yang belum dikerjakan di paruh kedua tahun kambing ini. Dia sudah meraih beberapa target, saya pun demikian.

Ada target-target mahapenting semisal karier, tabungan, atau (ehm...) cinta. Ada juga bahasan penting-nggak-penting soal tingkat kerajinan berolah raga, makanan enak apa yang harus dicoba, sampai berapa kali terlambat bangun pagi. Menaruh harapan adalah hal yang sangat manusiawi.

Apa gunanya target dan harapan? Tentu saja agar jadi orang yang selalu maju. Saya ingin jadi orang yang tahu apa yang saya mau. Sepuluh tahun dari sekarang saya harus tahu akan menjadi orang yang seperti apa dan menjalani kehidupan yang bagaimana. Terlalu muluk? Bisa ya bisa tidak. Kalau kata ibu, saya ini orangnya terlalu simetris. Hihihi...

Yang namanya cita-cita, setiap orang pasti punya.

Dengan menaruh harapan kita jadi tahu di jalur mana kita harus berjalan.

Saya pribadi bukan orang yang suka memberi motivasi buat orang lain. Saya orang yang selalu menolak jika disodori buku-buku motivasi dengan cerita-cerita pendek penuh hikmah. Saya juga tidak suka menonton video-video para motivator. Saya lebih suka membaca biografi orang terkenal. Sebab apa yang dituangkan dalam sebuah biografi adalah hal konkret yang benar-benar terjadi. Agak sinis memang tapi menurut saya jejalan kata-kata mutiara dari motivator tidak akan berpengaruh apa-apa. Karena, yang paling penting adalah niat dari dalam sendiri.

Masih ada enam bulan sebelum 2015 mencapai pucuknya.



Keep on writing~

Senin, 25 Mei 2015

Secuil Surga di Utara Jakarta

Secuil Surga di Utara Jakarta


Suatu hari surga sedang bocor. Langit meneteskan bulir-bulir air dari sungai di surga. Tetesan-tetesan air tersebut jatuh tak beraturan di Laut Jawa dan menjelma menjadi pulau-pulau kecil. Begitu banyaknya tetesan air yang jatuh hingga terbentuklah gugusan pulau yang kini dikenal dengan Kepulauan Seribu.

Itulah sebait deskripsi tentang Kepulauan Seribu yang pernah saya baca. Sang penulis nampaknya benar-benar terkesima akan keindahan Kepulauan Seribu hingga menyamakannya dengan tetesan air surga. Untuk membuktikannya, beberapa waktu lalu saya dan teman-teman menyempatkan diri mengintip keindahan kepulauan di utara Jakarta itu. Dalam sebuah open trip selama dua hari satu malam, kami menghabiskan waktu mengeksplorasi berbagai pulau di Kepulauan Seribu.

Perjalanan dimulai dari Pelabuhan Muara Angke. Kapal yang kami tumpangi berangkat sekitar pukul 08.00. Tujuan kami adalah Pulau Kelapa yang ditempuh selama tiga jam perjalanan. Selama satu jam pertama kami masih disuguhi perairan yang penuh limbah dan sampah. Mustahil kami dapat menyelam di laut sekotor ini.

Namun lamanya perjalanan sebanding dengan keindahan yang kami dapatkan. Menjelang pukul 10.00 suasana sudah mulai berubah. Warna air laut yang tadinya hitam kini berangsur membiru. Sejauh mata memandang kami disuguhi permukaan air laut yang tenang dan bersih. Sesekali nampak bintik kecil di kejauhan tanda adanya pulau kecil tak jauh dari kapal kami.

Begini kira-kira penampakan pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu

Tepat pukul 11.00 rombongan menginjakkan kaki di Pulau Kelapa. Kami memperoleh sebuah rumah kosong dengan dua kamar tidur sebagai homestay. Rombongan disambut makan siang berupa sayur asem, ikan kembung, dan sambal. Satu teko besar es kelapa muda tak ketinggalan nangkring di meja makan. Usai melahap santap siang dan sholat, kami digiring menuju lokasi snorkeling.

Untuk menuju lokasi snorkeling, kami diajak naik kapal yang lebih kecil. Teriknya matahari tak menyurutkan semangat kami, para wisatawan, untuk mengarungi lautan. Lokasi pertama snorkeling adalah Pulau Macan. Awalnya saya takut-takut menceburkan diri ke laut. Meski sudah memakai jaket pelampung, tetap saja saya paranoid. Air laut yang berwarna biru tua menandakan betapa dalamnya perairan di situ. Menurut Pak Nurdin yang jadi guide kami, kedalaman airnya antara 5-10 meter. Masih cetek sebenernya untuk ukuran menyelam. Memang dasar saya saja yang penakut.

Tetapi akhirnya saya berani juga terjun ke laut. Dan begitu membenamkan kepala ke dalam air, terlihatlah keindahan bawah laut Kepulauan Seribu. Ikan-ikan seukuran ibu jari yang saya tidak tahu namanya hilir mudik berenang dalam gerombolan-gerombolan kecil. Ikan-ikan lain yang lebih besar berenang sendirian di antara terumbu karang. Berkali-kali saya mencoba menyentuhkan tangan ke arah mereka namun selalu meleset karena geraknya yang gesit.

Puas menyelami perairan Pulau Macan, kami lalu bergeser ke lokasi kedua yakni ke perairan dekat Pulau Bintang. Perairan Pulau Bintang menawarkan pemandangan bawah laut yang lebih eksotis. Ikan-ikan yang berenang lebih banyak dan lebih berwarna-warni. Saya sengaja melepas fin (kaki katak) saat snorkeling di sini. Daan...ternyata itu pilihan salah karena kaki saya terluka akibat tergores-gores tajamnya terumbu karang. :p

Di perairan dekat Pulau Bintang
Semakin ke utara ekosistem yang hidup semakin membikin kita berdecak kagum. Kalau di utara Jakarta saja kita sudah terkagum-kagum, apalagi jika kita main ke Bunaken atau Wakatobi ya? Bisa-bisa ogah pulang. Sayangnya di dua lokasi snorkeling tersebut, saya mendapati banyak terumbu karang yang 'terluka'. Mungkin terumbu-terumbu karang itu sering dijadikan pijakan oleh para wisatawan tatkala menyelam. :(

Usai ber-snorkeling ria, kami menuju ke sebuah pulau cantik (yang lagi-lagi saya lupa nama pulaunya). Di pulau ini kami dibebaskan melakukan aktivitas apa saja. Mau berenang, main ayunan, makan, gitaran, atau main voli sekalian, terserah. Bagi yang perutnya keroncongan bisa membeli makanan di warung yang ada di situ. Tapi jangan banyak maunya ya karena yang tersedia hanya mie instant, gorengan, roti, dan minuman-minuman sachet. :)

Pukul 17.00 kami beranjak untuk kembali ke Pulau Kelapa. Sepanjang perjalanan, kami dimanjakan dengan pemandangan langit sore yang indah. Langit perlahan memerah tanda siap mengantar matahari pulang ke rumah. Malamnya, para wisatawan disuguhi hidangan seafood bakar. Kami berlomba menyantap cumi-cumi dan udang sepuasnya. Yeay!

Esok paginya, kami kembali mengangkat sauh menuju Pulau Bulat. Konon kabarnya pulau ini adalah milik keluarga mantan Presiden Soeharto. Sebuah helipad menjadi petunjuk bahwa pulau ini menjadi destinasi keluarga Cendana jika ingin berlibur. Tidak ada yang istimewa di pulau itu. Tetapi ada satu spot istimewa di dekat dermaga yang manis dijadikan tempat berfoto. Spot itu berupa bangku taman di ujung dermaga. Bangku itu hanya diletakkan sendirian membelakangi laut. Kurang melankolis apa coba?

Setelah mengelilingi Pulau Bulat kami kembali ke Pulau Kelapa dan bersiap-siap pulang ke Jakarta. Perjalanan singkat ini cukup melelahkan tetapi semua sebanding dengan kepuasan yang didapat. Soal biaya, saya merogoh kocek Rp 350 ribu untuk open trip selama 2 hari 1 malam. Karena berlibur di kala peak season maka saya dan teman-teman harus rela berdesak-desakan dengan banyak rombongan di kapal yang sempit. Di hari keberangkatan kami masih beruntung karena bisa duduk lesehan di lambung kapal.

Tetapi ketika pulang, kami datang terlambat ke dermaga sehingga mau tak mau pantat ini didudukkan di kapal bagian samping yang sejatinya bukan tempat penumpang. Bagian tersebut adalah gang sempit yang berada di kapal bagian luar. Alhasil saya harus menahan panas disiram sinar matahari bersuhu 30 derajat Celcius selama tiga jam. Maklum, kapal berangkat dari dermaga Pulau Kelapa saat tengah hari, tepat pukul 12.00.

Anyway, saya tetap menikmati perjalanan mengesankan ini. Alam Indonesia sudah bermurah hati memberikan banyak keindahan dan kesuburan. Amat disayangkan kalau kita tidak pernah menyempatkan waktu menikmatinya.

Minggu, 17 Mei 2015

Siapa yang Paling Cantik?

Siapa yang Paling Cantik?

Indonesia bukan negara Islam. Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Maka menolak ajang kontes kecantikan seperti Miss Universe, Miss World, atau Putri Indonesia sepertinya adalah hal yang sia-sia. Karena, di samping alasan adat ketimuran isu-isu yang diangkat dalam penolakan kontes kecantikan biasanya adalah isu agama.

Wanita dilarang memamerkan aurat, wanita dilarang berlenggak-lenggok, dan wanita dilarang menjadi barang pajangan adalah sudut pandang Islam. Sebagai negara yang majemuk, wajar jika isu-isu semacam itu tidak mempan menghentikan diselenggarakannya ajang kecantikan. Tidak semua orang Indonesia beragama Islam. Dan lagi, tidak semua Muslim memiliki pandangan yang sama. Maka tak heran di kala sebagian Muslim menolak kontes kecantikan, sebagian Muslim lain yang berpandangan sekuler tengah sibuk menjadi panitia penyelenggara dan peserta.

Sayangnya, kita umat Islam nampaknya justru malah menduplikasi dan memodifikasi ajang pemilihan ratu kecantikan agar terlihat lebih Islami. Munculnya kontes kecantikan Muslimah adalah hal yang patut dipertanyakan. "Miss Muslimah itu cuma Miss Universe dikasih jilbab!" ujar seorang teman saya dengan nyinyir. Pernyataan itu tidak keluar dari mulut seorang aktivis muslim apalagi yang berjilbab lebar. Teman saya juga tidak rajin-rajin amat tadarusan. Dia hanya muslimah biasa yang sama awamnya seperti saya. Tetapi ia termasuk yang geli melihat para muslimah diperlombakan di atas panggung.

Ya, buat saya (dan mungkin beberapa orang lain di luar sana) inti dari ajang miss-miss-an atau putri-putrian adalah mencari wanita-wanita cantik. Dan kehadiran kontes kecantikan Muslimah pun bagaikan adik kandung Miss Universe dan Miss World. Hanya yang satu 'pakai bungkus' dan yang satu 'tidak pakai bungkus'. Kalaupun ada konsep 3B (brain, beauty, behaviour) maka itu adalah kelihaian penyelenggara agar kontes semacam ini lebih bisa diterima. Konsep 3B kemudian diadopsi oleh ajang kecantikan Muslimah lewat 3S (shalihah, smart, stylish). Akh, pantaskah ke-shalihah-an dikonteskan? Jikalau ya, apa standarnya? Dari mana kita tahu seseorang lebih shalihah daripada yang lain sedangkan apa yang tersimpan di dalam hati hanya Allah yang tahu?

Jika standar shalihah adalah berjilbab, maka betapa dangkalnya standar itu karena kita hanya menilai orang dari tampilan luarnya saja. Jika standarnya bisa mengaji dan hafal al-qur'an, anak-anak SD dan SMP juga bisa mengaji dan menghafal. Tetap saja penilaian menitikberatkan pada kecantikan dan keindahan fisik. Kita tidak melihat wanita berperawakan misal (maaf) pendek, gendut, atau berwajah sangat biasa bisa berjalan di atas panggung penjurian. Semua yang tampil pada kontes kecantikan adalah mereka yang berwajah cantik/manis, tinggi semampai, dan berkulit bersih. Padahal di luar sana banyak kaum hawa memiliki pemikiran brilian namun kondisi fisiknya tidak semulus mereka yang berlenggak-lenggok di atas panggung. Banyak wanita-wanita berpenampilan ala kadarnya bisa berprestasi dan memberikan kontribusi signifikan bagi lingkungan namun tidak terekspos gemerlapnya panggung kontes. Kondisi ini seolah menegaskan hanya wanita cantik saja yang diizinkan menjadi duta ini dan itu.

Foto diambil dari sini


Pagelaran kontes kecantikan muslimah pada akhirnya bermuara pada kapitalisme. Sederetan sponsor sudah menyokong perhelatan kontes kecantikan muslimah sejak ajang ini dipromosikan. Mulai dari kosmetik hingga busana muslim (yang mahal dan tidak syar'i). Mereka yang berhasil memenangkan lomba ditunjuk menjadi brand ambassador produk sponsor. Kontes kecantikan pada hakikatnya adalah meraup keuntungan bisnis. Kampanye agar wanita berjilbab? Please, masih banyak cara lain untuk mengajak wanita sadar jilbab selain lewat ajang kecantikan. Kontes kecantikan justru bisa memicu lahirnya kasta-kasta dalam dunia per-muslimah-an. Kasta antara yang cantik, pintar, dan (dianggap) shalihah dengan kasta muslimah yang serba biasa dan sedang-sedang saja. Hati manusia siapa yang tahu, ajang kecantikan musimah bisa jadi malah menjerumuskan wanita pada sifat sombong dan berlebih-lebihan.

Pemilihan ratu kecantikan tidak berkorelasi dengan pendapatan negara. Apakah dengan Indonesia menjuarai kontes kecantikan muslimah lalu serta merta sektor pariwisata ikut terdongkrak? Atau jika boleh lebih ekstrim lagi, sejak Indonesia ambil bagian dalam Miss World dan Miss Universe seberapa melejitkah pamor pariwisata Tanah Air di mata dunia?

Pangkal dari keberhasilan sektor pariwisata tidak berada pada seberapa berkilaunya wanita Indonesia di mata dunia. Kemauan pemerintah menyediakan infrastruktur pariwisata yang  memadai jauh lebih penting dalam memajukan sektor pariwisata. Keberadaan sumber daya manusia yang mumpuni di bidang seni dan budaya Indonesia adalah aset paling berharga yang harus diperhatikan pemerintah.

Kembali ke kontes kecantikan muslimah, budaya apa yang tengah dikampanyekan ajang ini sementara Rasulullah melarang kaumnya untuk berlebih-lebihan? Saya sangat tidak berkompetensi dalam bidang agama tetapi izinkan saya membagi dua hadis populer yang pasti sudah sering kita dengar. Mari kita mengingat sabda nabi yang satu ini, "Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli orang-orang dengannya. Dan wanita-wanita yang memakai baju tapi telanjang, berjalan dengan menggoyang-goyangkan pundaknya dan berlenggak-lenggok. Kepala mereka seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapat wanginya, padahal sungguh wangi surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian." (HR Muslim). Atau sabda yang ini, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka." (HR Abu Daud).

Maaf bukan bermaksud menggurui, tetapi bukankah kontes kecantikan jelas bukan budaya yang dianjurkan oleh Islam? Sekali lagi, saya hanyalah orang awam. Tetapi melihat sederetan muslimah dipertontonan dan dilombakan sambil mereka memamerkan senyum yang seragam, rasanya tak tahan untuk tidak berkomentar. Ke mana jati diri kaum muslim? Sebegitu mudahnyakah terpengaruh budaya-budaya kapitalis yang esensi keislamannya masih dipertanyakan? Wanita shalihah yang sebenarnya tidak akan membiarkan dirinya dieksploitasi dan dinilai para juri. Karena, juri yang sebenarnya hanyalah Dia Sang Maha Pencipta.


-correct me if i'm wrong-

Rabu, 13 Mei 2015

Goyang Lidah ala Kedai Kita

Goyang Lidah ala Kedai Kita

Kalau Jakarta adalah semangkuk bakso pedas, maka Bogor adalah segelas es jeruk yang mendinginkan tenggorokan. Dalam keseharian jalanan Jakarta yang padat dan serba terburu-buru, Bogor adalah tempat yang cocok untuk mencari hawa yang lebih segar. Apalagi di Bogor saya menemukan tempat makan yang enak. Namanya Kedai Kita.

Berawal dari agenda mencari kost-kostan baru buat teman saya, Tika, kami berdua menemukan kedai ini tanpa sengaja. Kedai Kita terletak di Jalan Pangrango 21 Bogor. Posisinya nggak jauh dari Taman Kencana. Salah satu yang membuat kami memutuskan mencoba Kedai Kita karena melihat antreannya yang panjang. Serius, panjang banget waiting listnya. Mungkin karena saat itu sedang weekend makanya banyak orang pengen jajan ya? Tapi mana mungkin orang rela menunggu lama-lama kalau bukan karena makanannya yang enak?




Ini nih penampakan Kedai Kita

Menu yang paling harus dicoba banget di Kedai Kita adalah pizza kayu bakar. Ada beberapa varian pizza kayu bakar yang semuanya bikin ngiler. Pizza kayu bakar ala Kedai Kita disajikan dalam keadaan panas dan garing. Roti pizzanya tipis ditimpa topping yang tebal. Rasanya minta ampun enaknya. Cocok disantap di tengah hawa Bogor yang adem.

Favorit saya adalah Hawaiian Pizza. Cita rasa paprika, nanas, dan smoked beef bercampur jadi satu membuat kita kenyang tapi enggak bikin eneg. Saya juga memesan sapo tahu (atau tofu? lupa pokoknya itulah). Rasa sapo emang nggak ada yang istimewa tapi gurih dan segernya sapo patut dicoba.

Kenikmatan makan di Kedai Kita bikin saya dan Tika ketagihan buat datang lagi ke sana. Saya memesan calzone dan mie sapi lada hitam saat kali kedua saya ke Kedai Kita. Pesanan yang pertama datang adalah calzone (alias pastel raksasa kao menurut saya :P). Kami berdua memesan calzone yang berisi smoked beef dan keju. Soal rasa, nggak kalah sama Hawaiian Pizza. Ada sensasi bahagia ketika kami memotong calzone dan melihat daging serta keju berhamburan keluar (lebaaay!).


Calzone sist!


Lanjut ke menu kedua adalah mie sapi lada hitam yang disajikan dalam hot plate. Menu ini jadi andalan Kedai Kita karena ditulis besar-besar di papan tulis kedai. Dan ternyata promosi itu enggak bohong. Mie ini enak! Mienya nggak kematengan dan rasa rempahnya kerasa banget. Seporsi mie lada hitam kalo buat saya banyak banget tapi kok ya habis juga. Padahal sebelumnya juga udah diganjal pake calzone. Duh...

Mie Sapi Lada Hitam rasanya juaraaa...


Kedai Kita menjual beragam menu lain seperti steak, nasi goreng, dan pasta. Tapi yang jadi andalah adalah pizza kayu bakar dan mie lada hitam. Kalau soal minuman standar aja sih. Sebangsa es teh, es jeruk, atau jus buah. Oiya kalau ke Kedai Kita jangan pas laper-laper banget ya. Soalnya bakal antre panjang. Keburu semaput kalau nunggunya kelamaan. Atau kalau nggak mau kena waiting list jangan dateng waktu weekend atau hari libur.

Range harga makanan dan minuman di Kedai Kita menurut saya sebanding sama rasanya. Makanan rata-rata 30 ribuan dan buat pizza kayu bakar dibanderol 70 ribuan. Masih murahlah karena pizzanya bisa dimakan bareng-bareng dan bayar patungan.

Kedai Kita diapit oleh banyak restoran dan tempat makan yang lucu-lucu. Ada restoran India, restoran khusus coklat, warung makan klapertaart, dan lain-lain. Jalan Pangrango emang dikenal sebagai destinasi kuliner dan menawarkan pengalaman makan yang beragam.

Buat yang sumpek sama hawa Jakarta bolehlah sekali-sekali meluncur ke Bogor. In my humble opinion, Bogor lebih ramah ketimbang Jakarta. Kita masih bisa merasakan sejuknya pepohonan dan jalan di trotoar dengan tenang. Cocok buat kita-kita yang hobi jalan kaki. Jadi, selamat jajan di Bogor yaa~~

Selasa, 05 Mei 2015

Wejangan Pini Sepuh

Wejangan Pini Sepuh

Rezeki iku ora iso ditiru
Senajan padha lakumu
Senajan padha dodolanmu
Senajan padha kerjamu
Hasil sing ditampa bakal beda-beda
Isa beda nang akehe bandha
Isa uga ana nang rasa lan ayeme ati
Yaitu sing jenenge bahagia

Kabeh iku saka tresnane Gusti Kang Maha Kuwasa
Sapa temen bakal tinemu
Sapa wani rekasa bakal gayuh mulya
Dudu akehe, nanging berkahe kang dadekake cukup lan nyukupi

Wis ginaris nang takdire manungsa
Yen apa sing urip kuwi wis disangoni saka sing KuwasaDalan urip lan pangane wis cemepak
Cedhak kaya angin sing disedhot saben dinane
Nanging kadhang manungsa sulap mata lan peteng atine
Sing adoh saka awake katon padhang cemlorot ngawe-awe
Nanging sing cedhak nang ngarepe lan dadi tanggung jawabe disia-sia kaya ora duwe guna

Rejeki iku wis cemepak saka Gusti
Ora bakal kurang anane kanggo nyukupi butuhe manungsa saka lair tekane pati
Nanging yen kanggo nuruti karep manungsa sing ora ana watese, rasane kabeh cupet
Nang pikiran ruwet lan atine marai bundhet

Welinge wong tuwa, apa sing ana dilakoni lan apa sing durung ana aja diarep-arep
Semelehke atimu, yen wis dadi duwekmu bakal tinemu
Yen ora jatahmu apa meneh nek ngrebut saka wong liya nganggo cara sing ala
Ya dienteni wae, iku bakal gawe uripmu lara, rekasa, lan angkara murka sajroning kulawarga
Kabeh iku bakal sirna balik dadi sakmestine
Yen umpamane ayem iku mung bisa dituku karo akehe bandha,
Dahna rekasane dadi wong sing ora duwe
Untunge ayem isa diduweni sapa wae sing gelem ngleremke atine bab kadonyan
Seneng tetulung marang liyan, lan masrahke uripe marang Gusti Allah

Kerja iku pancen rekasa nanging luwih rekasa meneh yen ora kerja
Lakonana lan syukuri apa sing wis ana

Foto oleh @sarrymartin


*Sampai Wejangan Pini Sepuh ini ditulis di umbarasa, saya belum menemukan siapa sumber pertama yang menulisnya. Wejangan Pini Sepuh hanya saya dapat dari hasil share di grup Whatsapp tanpa mencantumkan sumber. Menurut saya wejangan sebaik ini harus dibagikan agar dapat menjadi inspirasi bagi siapapun yang membacanya. Mohon maaf bagi yang tidak mengerti Bahasa Jawa karena saya belum sempat mencantumkan subtitle Bahasa Indonesia.





Selasa, 28 April 2015

Tidak Kasihan

Tidak Kasihan

Wanita itu berusia sekitar 30 tahunan. Kulitnya hitam dan rambutnya diikat ekor kuda. Pertama kali saya bersirobok dengannya pada suatu malam minggu di sebuah lesehan dekat Universitas Nasional. Ia menggendong bayi sambil membawa kecrek. Langkah kakinya diikuti bocah lelaki berusia sekitar tujuh tahunan. Wanita tersebut berhenti di setiap warung tenda barang  dua-tiga menit. Dari mulutnya melantun lagu campursari 'Stasiun Balapan' dengan nada yang sumbang. Si bocah mengulurkan topi lusuhnya ke setiap pengunjung yang ada di warung tenda. Hingga pada akhirnya rombongan ibu dan anak itu sampai di warung tempat saya dan teman-teman makan.

Tatkala bocah itu menyodorkan topinya, kami berbarengan menggelengkan kepala. Jujur saya sendiri tidak merasa kasihan melihat pemandangan itu. Entahlah mungkin karena saking banyaknya pengamen di Jakarta (dan kota besar lainnya) sehingga saya (dan kita?) menjadi kebal dengan mereka.

Gitar, senjata andalan para pengamen jalanan. Gambar diambil dari sini.

Saya termasuk pelit memberi receh kepada pengamen. Kalau suaranya tidak bagus dan nyanyinya tidak full satu lagu ya tidak saya kasih. Kita pasti juga sepakat bahwa pengamen-yang-tidak-terlihat-niat-menyanyi adalah modus mengemis. Saya tidak rela meski hanya memberi recehan 500-an kepada pengamen abal-abal (baca:suara jelek diiringi tepukan tangan atau kecrek seadanya). Semakin pengamen memperoleh uang dari 'kerjanya' yang nyaris tanpa modal, semakin menjamur pula jumlah pengamen abal-abal. Menurut saya mengamen bukan pekerjaan. Jika ada yang beralasan 'nggak apa-apa yang penting halal' maka bolehkah saya menyimpulkan itu alasan seorang pemalas?

Banyak sekali kegiatan di luar sana yang lebih terhormat ketimbang mengamen. Buruh cuci, tukang sapu, penjaga toko, adalah sederetan pekerjaan yang bisa dicoba ketimbang menjadi pengamen. Banyak orang memilih jadi pengamen karena dengan usaha yang tak seberapa penghasilan yang diperoleh cukup lumayan. Saya pernah memberi pengamen 200 perak karena tidak punya uang receh selain itu. Dan hasilnya? Si pengamen marah-marah sambil melempar uang itu ke muka saya. Lho, pengamen kok pasang tarif? Gila. Alih-alih terhibur, kehadiran pengamen abal-abal kebanyakan justru mengganggu. Kita tidak memungkiri sejumlah artis lahir dari dunia pengamen. Tetapi itu tentu saja pengamen yang memang bersungguh-sungguh memberi hiburan dan tidak asal ngamen.

Saya jauh lebih rela memberikan uang lebih kepada penjual tisu, air mineral, atau pedagang-pedagang asongan lainnya. IMHO, mereka lebih berhak menerima kelebihan rezeki kita ketimbang para pengamen abal-abal. Apalagi pengamen yang membawa-bawa anak kecil. Bukankan itu suatu tindakan yang tidak bisa dianggap sebelah mata? Pertama, anak-anak tidak seharusnya dipekerjakan karena idealnya dunia anak adalah waktunya bermain dan belajar. Kedua, menyuruh anak-anak minta receh bisa mengakibatkan mereka bermental pengemis. Masa depan seperti apa yang bisa anak-anak raih jika masa kecilnya sudah diajari meminta-minta? Andai orang tua si anak benar-benar menyayangi buah hatinya, maka pastinya ia akan mencari pekerjaan dalam arti sesungguhnya. Dan, tidak membiarkan anaknya berkeliaran meminta receh.

Mulai sekarang berhentilah memberi uang kepada pengamen abal-abal. Jangan pernah menaruh kasihan pada orang-orang yang tidak mau bekerja keras. Mereka tetap ada karena merasa tindakan yang dilakukannya dapat menjadi sumber penghidupan. Maka salah satu cara menghilangkan keberadaan pengamen abal-abal adalah dengan membuatnya tidak berpenghasilan.

Selasa, 21 April 2015

Berburu Tiket Mudik

Berburu Tiket Mudik

Kita semua tau kalo berburu tiket mudik jurusan Jakarta ke Jateng dan Jatim itu sulit. Tapi setelah saya ngalamin sendiri berburu tiket kereta mudik dan arus balik, ternyata ga cuma sulit tapi juga ngeselin.

Terlalu besarnya populasi orang Jawa di Jakarta bikin perjuangan mencari tiket pulang menjadi sangat complicated. Lebaran masih besok Juli. Masih ada tiga bulan tersisa tapi seperti biasa PT KAI udah mulai menjual tiket kereta api. Tahun ini, saya memutuskan bergabung dengan gerombolan mereka yang mencari tiket kereta api.


Kereta api aku padamu! (Foto diambil dari sini)





Saya emang ngebet banget pengen mudik naik kereta. Taun lalu saya udah mudik pake pesawat dan taun ini saya pengen ngirit. Kalo membayangkan mudik pake bus atau travel rasanya udah males banget. Macetnya itu lho....

Pukul 23.38 saya udah menyalakan laptop bersiap-siap menyongsong dibukanya penjualan tiket. Kalo sesuai jadwal, tiket online bakal dibuka pukul 00.01. Sebentar-sebentar saya melirik penunjuk waktu yang ada di pojok kanan laptop. Tepat pukul 00.00 saya langsung tancap gas mengetikkan tanggal dan stasiun di laman pemesanan tiket online. Kebetulan banget koneksi internet sedang sangat kooperatif. Jadi loadingnya juga cepet.

Tapi apa daya saudara-saudara, ternyata setelah saya selesai menulis nama, nomor KTP, dan no handphone di sana tertera kalo kursi udah penuh. Whattt??? Ini nggak mungkin bangetlah. Saya udah cepat-cepat ngetik dan meng-klik tombol enter. Tapi ternyata PT KAI mengkhianati perjuangan si anak rantau yang satu ini.

Mana mungkin...mana mungkin dalam waktu kurang dari 30 detik tiket langsung ludes. Emang orang-orang di luar sana nggak pada ngetik apa? Lagipula kami sudah bagi tugas. Ada yang pesan tiket ekonomi, bisnis, dan eksekutif. Mana yang bisa dapat itu yang kami beli.

Di tengah malam yang hening saya dan dua teman kost sesama pemburu tiket mencak-mencak nggak keruan. Selama satu jam ke depan kami masih mencoba untuk membooking tiket. Sayangnya hasilnya tetap saja zonk.

Dua hari kemudian saya dapet cerita ada temannya teman saya yang berhasil dapet tiket kereta pukul 07.00 pagi. Usut punya usut dia ternyata setia mencoba membooking dari pukul 00.00 sampa 07.00. Ealaah...jadi sepertinya penjualan tiket online memberlakukan sistem buka tutup. Tiket nggak dijual sepanjang waktu tapi diselang-seling seperti sandwich.

Kunci biar dapet tiket ya..harus rajin mantengin internet. Kalo beruntung kita bisa dapet momen ketika penjualan tiket lagi dibuka. Mungkin... ini mungkin lho ya, penjualan tiket emang dibatesin tiap sesinya.

Padahal ya, di balik pencarian tiket ini saya sendiri juga belom tau gimana jatah libur besok Lebaran. Namanya kerja di media, waktu-waktu liburnya emang sering ajaib dibanding yang lain. Tapi taun lalu saya 'kan udah kerja pas lebaran, masa taun ini juga disuruh kerja lagi?

Dan akhirnya harapan saya (dan ribuan perantau lain) tinggal menggantungkan pada dibukanya tiket kereta tambahan. Fiuuh...wish us luck!

Senin, 16 Februari 2015

Pelukis Tiga Zaman

Pelukis Tiga Zaman

Postingan ini adalah lanjutan dari tulisan Merekam Jejak Layang-Layang, ketika saya dan Risa jalan-jalan random di kala libur kerja. Nggak jauh dari Museum Layang-Layang ternyata ada Museum Basoeki Abdullah. Basoeki dikenal sebagai pelukis realis-naturalistis kenamaan Indonesia. Entah terprovokasi karena lokasi museum yang  unik (ada di dalam perumahan), atau tersugesti nama besar Basoeki Abdullah, akhirnya saya dan Risa memutuskan mampir. Museum Basoeki Abdullah berlokasi di Jalan Keuangan Raya 19, Cilandak, Jakarta Selatan. FYI harga tiket masuk museum murah banget, cuma dua ribu perak! Selama berkeliling museum, kami berdua ditemani guide bernama Erwin. Awalnya saya kira larangan memotret berlaku di museum ini buat menjaga agar lukisan nggak rusak. Tapi ternyata para pengunjung dipersilakan dengan bebas mengambil gambar lukisan-lukisan Basoeki Abdullah. Foto-foto yang dipajang dalam tulisan ini adalah hasil jepretan saya selama berada di sana. Nah, ayuklah kita telisik soal Basoeki Abdullah yang informasinya didapat dari cerita Erwin selama memandu kami.

Basoeki Abdullah lahir di Solo pada 27 Januari 1915. Ia adalah cucu tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal 1900-an yaitu Dokter Wahidin Sudirohusodo. Bakat melukisnya terwarisi dari ayahnya, Abdullah Suryosubroto yang juga seorang pelukis. Talenta Basoeki sudah terlihat sejak belia. Ini dibuktikan saat baru berusia 10 tahun ia mampu menggambar sketsa Mahatma Gandhi dengan sangat apik.


Sketsa Mahatma Gandhi karya Basoeki Abdullah


Basoeki menghabiskan masa kecil di Solo dan menamatkan pendidikan sekolah di HIS dan sekolah Katolik Mulo di Solo. Di usia 18 tahun Basoeki menggelar pameran pertamanya di Katholiek Sociale Bond, Bandung. Ia memamerkan lukisan Gatot Kaca dan Ontoseno yang sedang memperebutkan Dewi Sembadra.

Hitler? No. Ini adalah gambar Abdullah Suryosubroto karya Basoeki Abdullah

Pada 1935 Basoeki mendapatkan beasiswa bersekolah di Koninklijke Academie van Beeldende Kunsten, Den Haag, Belanda. Setelah menyelesaikan masa studinya pada 1937, ia melanjutkan pendidikan seni di Academy of Fine Arts di Paris dan Roma.



Di kalangan seniman, Basoeki pernah mendapat olok-olok 'Mooi Indie' atau Hindia Molek. Karena, lukisan-lukisan Basoeki Abdullah pada kurun 1925-1938 banyak mengambil tema kecantikan alam Indonesia. Lukisan ini terasa kontras di tengah penjajahan yang terjadi di Indonesia. Lukisan Mooi Indie dikatakan hanya memenuhi selera para turis

Sejak 1942, Basoeki Abdullah mulai nampak dalam pergerakan revolusi secara nyata lewat seni. Meski tinggal di luar negeri, Basoeki Abdullah selalu mengikuti perkembangan pergerakan kemerdekaan.  Ia membuat rekaman melalui sketsa yang bercerita mengenai pergerakan tersebut. Kekaguman dan penghormatan Basoeki Abdullah pada para pahlawan Indonesia juga diwujudkan dengan melukis sosok para pahlawan nasional.

Pada masa revolusi, Basoeki Abdullah berjuang dengan caranya sendiri. Ia mempersenjatai dirinya dengan kuas, cat, dan kanvas. Dengan senjata tersebut Basoeki berhasil mengangkat nama Indonesia  di mata dunia. Ia mengalahkan 97 pelukis Eropa pada sayembara melukis Ratu Yuliana di Niew Kerk Amsterdam, 6 September 1948.

Kala itu lukisan Basoeki menduduki peringkat kedua. Meski lukisan Ratu Yuliana karya Basoeki amat mengesankan dan nyaris sempurna, adalah hal yang sangat mustahil bagi seniman Indonesia menjadi juara kompetisi di Belanda. Ini mengingat konflik yang terjadi antara Belanda-Indonesia belum benar-benar mereda pada masa itu.


Lukisan Ratu Yuliana buatan Basoeki Abdullah yang memenangkan sayembara di Den Haag, Belanda

Basoeki Abdullah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa orang Indonesia bukan cuma bangsa kuli. Tetapi juga punya reputasi dalam seni. Ia banyak melukis pahlawan-pahlawan bangsa. Basoeki adalah orang yang pertama kali melukis wajah Pangeran Diponegoro. Ia juga menggambar tokoh-tokoh lain seperti RA Kartini dan Bung Karno. Sahabat kentalnya sejak kecil, Dorodjatun alias Sri Sultan Hamengku Buwono IX, juga tak luput dari sapuan kuasnya. 


Lukisan potret pahlawan Basoeki Abdullah banyak digunakan penerbit dan penulis buku-buku sejarah nasional Indonesia. Tanpa disadari, banyak murid sekolah mengenal wajah dan sosok pahlawan nasional Indonesia melalui karya Basoeki Abdullah.

Lukisan RA Kartini yang selalu menghiasi buku sejarah nasional Indonesia


 Basoeki dikenal sebagai pelukis potret terutama melukis wanita-wanita cantik. Ia juga melukis keluarga kerajaan dan kepala negara. Gaya lukisannya cenderung mempercantik atau memperindah seseorang ketimbang wajah aslinya.

Hampir sebagian besar hidup Basoeki dihabiskan di luar negeri. Basoeki telah sejak lama  mengakrabi budaya Indonesia, terutama Jawa dan Bali, kebudayaan barat di Belanda, dan kebudayaan Thailand. Barulah sejak 1974 Basoeki Abdullah menetap di Jakarta dan diangkat sebagai pelukis istana.

Basoeki Abdullah sangat mencintai dunia perwayangan. Peran Hanoman sangat disukai oleh Basoeki Abdullah, terutama cerita tentang Hanoman yang menjadi duta dari Sri Rama kepada Raja Alengka Rahwana. Peran tersebut mengingatkan dirinya sendiri yang juga menjadi duta seni Indonesia untuk berbagai negara.



Ruang Wayang di Museum Basoeki Abdullah

Sisi lain yang tak kalah menarik adalah kehidupan pribadi sang maestro. Basoeki Abdullah lahir dan tumbuh dalam keluarga Muslim. Akan tetapi karena pengaruh lingkungan Katolik yang lebih kuat, ia pun memutuskan menjadi seorang Kristiani. Sebagaimana diketahui, ia menghabiskan pendidikannya di sekolah Katolik dan di Eropa.

Sepanjang hidupnya Basoeki tercatat pernah menikah empat kali. Istri pertamanya bernama Maria Michel. Sedangkan istri terakhir yang menemani sampai akhir hayatnya adalah wanita Thailand bernama Nataya Abdullah. Di usianya yang semakin senja, Basoeki Abdullah memiliki kemampuan spiritual melihat alam gaib. Seperti ketika melukis Nyai Roro Kidul yang dapat langsung dilihatnya di pantai selatan Pulau Jawa.

Basoeki Abdullah adalah seniman yang fashionable. Film dokumenter yang diputar di museum memperlihatkan rutinitasnya sehari-hari. Terlihat setiap pagi usai sarapan ia berangkat ke galerinya dengan pakaian penuh gaya. Basoeki mengenakan kemeja dan sesekali blazer kasual. Topi pet khas seniman, celana kain, dan sepatu fantofel menemani hari-harinya melukis. Sebagai seseorang yang kesehariannya bergumul dengan cat, penampilan Basoeki terhitung sangat rapi. Pria flamboyan ini juga memiliki banyak koleksi mantel dan sepatu dari luar negeri yang sebagian dipajang di museum.



Basoeki Abdullah yang tetap produktif di usia senja

Sayangnya, kehidupan seorang Basoeki Abdullah harus berakhir tragis. Ia meninggal pada pada 5 November 1993 karena tindakan kekerasan yang dilakukan pencuri yang masuk ke kamarnya. Ia ditemukan bersimbah darah pada pagi hari oleh asisten rumah tangganya ketika akan mengantarkan sarapan. Belakangan diketahui dalang dari perampokan itu adalah tukang kebun Basoeki Abdullah sendiri.


Ruang tidur bagi Basoeki Abdullah bermakna lebih dari sekadar tempat beristirahat. Ruang tidur adalah ruang paling pribadi tempat ia bisa berkomunikasi dengan Sang Khalik dalam doa-doanya. Di tempat ini pula ia menyimpan koleksi buku dan memperkaya wawasannya dengan membaca

Basoeki Abdullah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Mlati, Sleman. Sepeninggal Basoeki, keluarga menjalankan amanatnya agar rumah tinggalnya diserahkan kepada pemerintah untuk dijadikan museum. Kini di Museum Basoeki Abdullah terpajang puluhan lukisan karya sang legenda. Banyak di antara karyanya yang sarat dengan tema budaya lintas negara.  Dengan melukis, ia telah mengharumkan nama Indonesia ke mancanegara. Bahkan, Basoeki Abdullah pernah menempati posisi terhormat dengan menjadi pelukis Kerajaan Thailand.

Ia juga mendapat penghargaan berupa bintang emas Poporo dari Raja Thailand Bhumibol Aduljadej. Penghargaan Poporo adalah penghormatan tertinggi kerajaan di Thailand yang diberikan kepada seorang Royal Court Artist yang mempunyai jasa besar kepada pemerintah d istana. Karya Basoeki Abdullah sukar dihitung secara pasti karena ia adalah seniman yang produktif. Lukisannya banyak dikoleksi di berbagai lembaga dan perorangan baik di dalam maupun luar negeri.