Selasa, 28 April 2015

Tidak Kasihan

Tidak Kasihan

Wanita itu berusia sekitar 30 tahunan. Kulitnya hitam dan rambutnya diikat ekor kuda. Pertama kali saya bersirobok dengannya pada suatu malam minggu di sebuah lesehan dekat Universitas Nasional. Ia menggendong bayi sambil membawa kecrek. Langkah kakinya diikuti bocah lelaki berusia sekitar tujuh tahunan. Wanita tersebut berhenti di setiap warung tenda barang  dua-tiga menit. Dari mulutnya melantun lagu campursari 'Stasiun Balapan' dengan nada yang sumbang. Si bocah mengulurkan topi lusuhnya ke setiap pengunjung yang ada di warung tenda. Hingga pada akhirnya rombongan ibu dan anak itu sampai di warung tempat saya dan teman-teman makan.

Tatkala bocah itu menyodorkan topinya, kami berbarengan menggelengkan kepala. Jujur saya sendiri tidak merasa kasihan melihat pemandangan itu. Entahlah mungkin karena saking banyaknya pengamen di Jakarta (dan kota besar lainnya) sehingga saya (dan kita?) menjadi kebal dengan mereka.

Gitar, senjata andalan para pengamen jalanan. Gambar diambil dari sini.

Saya termasuk pelit memberi receh kepada pengamen. Kalau suaranya tidak bagus dan nyanyinya tidak full satu lagu ya tidak saya kasih. Kita pasti juga sepakat bahwa pengamen-yang-tidak-terlihat-niat-menyanyi adalah modus mengemis. Saya tidak rela meski hanya memberi recehan 500-an kepada pengamen abal-abal (baca:suara jelek diiringi tepukan tangan atau kecrek seadanya). Semakin pengamen memperoleh uang dari 'kerjanya' yang nyaris tanpa modal, semakin menjamur pula jumlah pengamen abal-abal. Menurut saya mengamen bukan pekerjaan. Jika ada yang beralasan 'nggak apa-apa yang penting halal' maka bolehkah saya menyimpulkan itu alasan seorang pemalas?

Banyak sekali kegiatan di luar sana yang lebih terhormat ketimbang mengamen. Buruh cuci, tukang sapu, penjaga toko, adalah sederetan pekerjaan yang bisa dicoba ketimbang menjadi pengamen. Banyak orang memilih jadi pengamen karena dengan usaha yang tak seberapa penghasilan yang diperoleh cukup lumayan. Saya pernah memberi pengamen 200 perak karena tidak punya uang receh selain itu. Dan hasilnya? Si pengamen marah-marah sambil melempar uang itu ke muka saya. Lho, pengamen kok pasang tarif? Gila. Alih-alih terhibur, kehadiran pengamen abal-abal kebanyakan justru mengganggu. Kita tidak memungkiri sejumlah artis lahir dari dunia pengamen. Tetapi itu tentu saja pengamen yang memang bersungguh-sungguh memberi hiburan dan tidak asal ngamen.

Saya jauh lebih rela memberikan uang lebih kepada penjual tisu, air mineral, atau pedagang-pedagang asongan lainnya. IMHO, mereka lebih berhak menerima kelebihan rezeki kita ketimbang para pengamen abal-abal. Apalagi pengamen yang membawa-bawa anak kecil. Bukankan itu suatu tindakan yang tidak bisa dianggap sebelah mata? Pertama, anak-anak tidak seharusnya dipekerjakan karena idealnya dunia anak adalah waktunya bermain dan belajar. Kedua, menyuruh anak-anak minta receh bisa mengakibatkan mereka bermental pengemis. Masa depan seperti apa yang bisa anak-anak raih jika masa kecilnya sudah diajari meminta-minta? Andai orang tua si anak benar-benar menyayangi buah hatinya, maka pastinya ia akan mencari pekerjaan dalam arti sesungguhnya. Dan, tidak membiarkan anaknya berkeliaran meminta receh.

Mulai sekarang berhentilah memberi uang kepada pengamen abal-abal. Jangan pernah menaruh kasihan pada orang-orang yang tidak mau bekerja keras. Mereka tetap ada karena merasa tindakan yang dilakukannya dapat menjadi sumber penghidupan. Maka salah satu cara menghilangkan keberadaan pengamen abal-abal adalah dengan membuatnya tidak berpenghasilan.

Selasa, 21 April 2015

Berburu Tiket Mudik

Berburu Tiket Mudik

Kita semua tau kalo berburu tiket mudik jurusan Jakarta ke Jateng dan Jatim itu sulit. Tapi setelah saya ngalamin sendiri berburu tiket kereta mudik dan arus balik, ternyata ga cuma sulit tapi juga ngeselin.

Terlalu besarnya populasi orang Jawa di Jakarta bikin perjuangan mencari tiket pulang menjadi sangat complicated. Lebaran masih besok Juli. Masih ada tiga bulan tersisa tapi seperti biasa PT KAI udah mulai menjual tiket kereta api. Tahun ini, saya memutuskan bergabung dengan gerombolan mereka yang mencari tiket kereta api.


Kereta api aku padamu! (Foto diambil dari sini)





Saya emang ngebet banget pengen mudik naik kereta. Taun lalu saya udah mudik pake pesawat dan taun ini saya pengen ngirit. Kalo membayangkan mudik pake bus atau travel rasanya udah males banget. Macetnya itu lho....

Pukul 23.38 saya udah menyalakan laptop bersiap-siap menyongsong dibukanya penjualan tiket. Kalo sesuai jadwal, tiket online bakal dibuka pukul 00.01. Sebentar-sebentar saya melirik penunjuk waktu yang ada di pojok kanan laptop. Tepat pukul 00.00 saya langsung tancap gas mengetikkan tanggal dan stasiun di laman pemesanan tiket online. Kebetulan banget koneksi internet sedang sangat kooperatif. Jadi loadingnya juga cepet.

Tapi apa daya saudara-saudara, ternyata setelah saya selesai menulis nama, nomor KTP, dan no handphone di sana tertera kalo kursi udah penuh. Whattt??? Ini nggak mungkin bangetlah. Saya udah cepat-cepat ngetik dan meng-klik tombol enter. Tapi ternyata PT KAI mengkhianati perjuangan si anak rantau yang satu ini.

Mana mungkin...mana mungkin dalam waktu kurang dari 30 detik tiket langsung ludes. Emang orang-orang di luar sana nggak pada ngetik apa? Lagipula kami sudah bagi tugas. Ada yang pesan tiket ekonomi, bisnis, dan eksekutif. Mana yang bisa dapat itu yang kami beli.

Di tengah malam yang hening saya dan dua teman kost sesama pemburu tiket mencak-mencak nggak keruan. Selama satu jam ke depan kami masih mencoba untuk membooking tiket. Sayangnya hasilnya tetap saja zonk.

Dua hari kemudian saya dapet cerita ada temannya teman saya yang berhasil dapet tiket kereta pukul 07.00 pagi. Usut punya usut dia ternyata setia mencoba membooking dari pukul 00.00 sampa 07.00. Ealaah...jadi sepertinya penjualan tiket online memberlakukan sistem buka tutup. Tiket nggak dijual sepanjang waktu tapi diselang-seling seperti sandwich.

Kunci biar dapet tiket ya..harus rajin mantengin internet. Kalo beruntung kita bisa dapet momen ketika penjualan tiket lagi dibuka. Mungkin... ini mungkin lho ya, penjualan tiket emang dibatesin tiap sesinya.

Padahal ya, di balik pencarian tiket ini saya sendiri juga belom tau gimana jatah libur besok Lebaran. Namanya kerja di media, waktu-waktu liburnya emang sering ajaib dibanding yang lain. Tapi taun lalu saya 'kan udah kerja pas lebaran, masa taun ini juga disuruh kerja lagi?

Dan akhirnya harapan saya (dan ribuan perantau lain) tinggal menggantungkan pada dibukanya tiket kereta tambahan. Fiuuh...wish us luck!