Senin, 29 Juni 2015

Rindu yang Mengganggu

Rindu yang Mengganggu

Ramadhan sudah memasuki hari kedua belas. Pekan lalu di seberang telepon, ibu kembali bertanya kapan saya pulang. Saya pun (kembali) melontarkan jawaban yang sama: belum tahu karena masih menunggu jadwal libur kantor.

Sudah delapan bulan saya tidak pulang. Untuk jarak seukuran Jakarta - Yogyakarta dan dengan menyandang status belum berkeluarga, sesungguhnya 'pulang ke rumah' bukanlah sesuatu yang rumit. Kecuali urusan pekerjaan, tidak ada beban berarti yang menghalangi saya untuk pulang sewaktu-waktu.

Sayangnya sebagai anak baru saya belum mendapat jatah cuti. Jadwal liputan, meski tidak setiap hari, tapi mengharuskan para reporter untuk stand by sewaktu-waktu. Anak-anak media pasti tahu bagaimana rasanya ketika sedang asyik bersantai tahu-tahu redaktur yang tercinta memberi order liputan. Maka dengan jatah libur yang singkat dan terbatas, saya jadi malas untuk pulang ke rumah.

Jatah libur lebih sering saya gunakan untuk berkumpul dan jalan bersama teman-teman. Mumpung masih free tidak ada salahnya kami rajin mengeksplor tempat-tempat menarik di Jakarta dan sekitarnya.

Tapi sebahagia-bahagianya saya di Jakarta, rasa kangen untuk pulang akhirnya datang juga. Sudah sejak dua bulan lalu saya kepingin buru-buru menghirup lagi hawa Yogyakarta. Saya kangen rumah sederhana di kaki Gunung Merapi tempat keluarga kecil kami tinggal. Saya kangen suara kokok ayam di pagi hari yang diiringi hawa dingin menusuk kulit.

Saya rindu jalanan rindang di Kotabaru-Lempuyangan-Gayam, tempat di mana saya menghabiskan dua puluh tahun pertama dalam hidup. Saya ingin merasakan lagi jajanan Yogyakarta yang serba murah dan meriah.


Sudut di Yogyakarta yang instagramable dan paling banyak diabadikan

Yogyakarta memang telah berganti rupa. Ia tak lagi menjadi puteri Keraton yang ayu dan sederhana. Tubuhnya kini telah digantungi perhiasan-perhiasan gemerlap berupa deretan mall-mall mewah, hotel berbintang, dan tempat hiburan malam. Yogyakarta perlahan menjelma menjadi gadis metropolitan. Meski demikian masih banyak sudut-sudut bersahaja di Yogyakarta yang menawarkan nostalgia.

Tapak kaki kuda masih setia beradu dengan aspal Malioboro, segelas es teh masih bisa ditebus dengan harga Rp 3 ribu rupiah, dan kita dengan betahnya ngetem lama di angkringan walau hanya berbekal nasi kucing dan sate usus. Betapa ngangeninya kesederhanaan di Yogyakarta.


Siomay Kotabaru, salah satu kuliner enak dan ramah kantong di Kota Pelajar

Di Jakarta semua serba bayar dan serba mahal. Untuk membeli sebotol minuman dingin di convenience store saja kita ditarik jatah parkir Rp 2 ribu. Tetapi bagaimanapun, kota ini adalah tempat saya mencari sesuap nasi. Si bijak berkata jangan meludah di sumur yang airnya kita minum. Jakarta, dengan semua sisi gelap dan terangnya sudah banyak memberi pelajaran dan penghidupan kepada saya.

Buat para pendatang, kampung halaman tentu memiliki tempat tersendiri di hati. Lebaran tahun ini saya harus pulang. Yang lama. Sebahagia-bahagianya saya di Jakarta, rasa kangen untuk pulang akhirnya datang juga.

Senin, 15 Juni 2015

Separuh Jalan

Separuh Jalan

Ancaman kenyamanan adalah ketumpulan. itu yang saya rasakan akhir-akhir ini. Di kala frekuensi liputan tidak sepadat dulu dan banyak waktu longgar, saya merasa ilmu saya justru tidak berkembang. Kehidupan yang terlalu santai ternyata membosankan. Gawatnya ketumpulan ini mengancam sederet target yang sudah dengan semangat saya kumpulkan di awal tahun.

Waktu tak pernah mau menunggu. Tahu-tahu 2015 sudah separuh jalan dan kurang dari seminggu memasuki bulan puasa. Dalam sebuah sambungan telepon dengan seorang sahabat di pengujung 2014, kami berdua sama-sama menceritakan target masing-masing di tahun yang akan datang. Kami saling menyemangati. Namun juga saling mencaci. Kita pasti sepakat manusia tidak hanya tumbuh dari pujian.
Picture taken from here

Enam bulan berlalu dan sudah saatnya menengok lagi apa-apa yang belum dikerjakan di paruh kedua tahun kambing ini. Dia sudah meraih beberapa target, saya pun demikian.

Ada target-target mahapenting semisal karier, tabungan, atau (ehm...) cinta. Ada juga bahasan penting-nggak-penting soal tingkat kerajinan berolah raga, makanan enak apa yang harus dicoba, sampai berapa kali terlambat bangun pagi. Menaruh harapan adalah hal yang sangat manusiawi.

Apa gunanya target dan harapan? Tentu saja agar jadi orang yang selalu maju. Saya ingin jadi orang yang tahu apa yang saya mau. Sepuluh tahun dari sekarang saya harus tahu akan menjadi orang yang seperti apa dan menjalani kehidupan yang bagaimana. Terlalu muluk? Bisa ya bisa tidak. Kalau kata ibu, saya ini orangnya terlalu simetris. Hihihi...

Yang namanya cita-cita, setiap orang pasti punya.

Dengan menaruh harapan kita jadi tahu di jalur mana kita harus berjalan.

Saya pribadi bukan orang yang suka memberi motivasi buat orang lain. Saya orang yang selalu menolak jika disodori buku-buku motivasi dengan cerita-cerita pendek penuh hikmah. Saya juga tidak suka menonton video-video para motivator. Saya lebih suka membaca biografi orang terkenal. Sebab apa yang dituangkan dalam sebuah biografi adalah hal konkret yang benar-benar terjadi. Agak sinis memang tapi menurut saya jejalan kata-kata mutiara dari motivator tidak akan berpengaruh apa-apa. Karena, yang paling penting adalah niat dari dalam sendiri.

Masih ada enam bulan sebelum 2015 mencapai pucuknya.



Keep on writing~