Selasa, 10 Februari 2015

Merekam Jejak Layang-Layang



Belum lama ini saya bareng temen sekantor (en sekosan), Risa, jalan-jalan ke Museum Layang-Layang. Mumpung lagi libur, kami pengen nyari suasana baru. Sejak awal kami sudah mencoret destinasi macam mal, trade center, dan kroni-kroninya. Akhirnya setelah cari info sana-sini kami memutuskan buat jalan ke Museum Layang-Layang. Percayalah, jalan-jalan ke tempat yang menawarkan nilai seni lebih berkesan ketimbang jalan ke mal. Buat pecinta wisata edukatif dan butuh suasana adem, museum ini adalah pilihan yang pas. Dan guys, inilah sedikit review tentang Museum Layang-Layang:

Museum Layang-Layang terletak di Jalan H.Kamang 38, Pondok Labu Jakarta Selatan. Museum ini didirikan seorang pakar kecantikan yang mencintai layang-layang, Endang Puspoyo. Kami langsung disambut suasana yang asri ketika melangkahkan kaki ke gerbang museum. Tiga bangunan besar bergaya Jawa Tengah berdiri kokoh terlindung rimbunnya pepohonan.
Sebelum memulai tur kecil ini, kami disuguhi film dokumenter mengenai layang-layang. 

Masyarakat dunia memprediksi cikal bakal layang-layang ada di Cina. Di Indonesia sendiri  jejak layang-layang pertama kali ditemukan di Gua Muna, Sulawesi Tenggara. Pada dinding gua, terdapat gambar manusia sedang menaikkan benda yang mirip layang-layang. Layang-layang tradisional Muna ini disebut Kaghati. Layang-layang Kaghati terbuat dari daun yang disatukan dengan lidi sehingga menjadi lembaran besar. Wow!

 
Layang-Layang Kaghati. Lihatlah betapa rapi dan rapatnya lembaran layang-layang ini.


Menurut budayawan I Gde Ardika, layang-layang telah menjadi bagian kultural dan sosial masyarakat. Layang-layang tak sekadar alat permainan tetapi sudah menjadi bagian dari ritual adat. Singkatnya, layang-layang adalah budaya berkarakter multidimensi.

Layang-layang telah menjadi bahasa yang memiliki arti beragam di berbagai belahan dunia. Di Jepang, kelahiran anak laki-laki ditandai dengan memasang layang-layang berbentuk ikan koi. Sedangkan di Thailand mainan berkerangka bambu ini digunakan untuk menghalau hujan. Sejarah juga mencatat, Wright bersaudara menggunakan layang-layang sebagai bahan eksperimen sebelum belakangan mereka menciptakan pesawat terbang.

Usai disuguhi film, kami diajak seorang pemandu menjelajah museum yang teduh ini. Layang-layang yang dipamerkan di museum terbagi tiga, yaitu layang-layang tradisional, kreasi, dan olah raga. Kenapa dinamakan layang-layang olah raga? Karena untuk menerbangkan layang-layang ini diperlukan dua tangan dan cukup menguras tenaga.

Untuk layang-layang yang berukuran sangat besar bahkan diperlukan tempat duduk semacam kursi roda. Jika angin sedang kencang-kencangnya, si pengendali layang-layang bahkan sampai bisa terseret terbawa angin. 


Salah satu layang-layang kreasi. Keren!


Indonesia punya cerita sendiri soal mainan tradisional ini. Setiap daerah di nusantara punya interpretasi sendiri tentang layang-layang. Tengoklah layang-layang Janggan di Bali. Layang-layang Janggan identik dengan warna merah, hitam, dan putih. Ketiga warna ini melambangkan warna dewa-dewi.

Sementara itu masyarakat Banyuwangi menggunakan layang-layang Tapean sebagai bagian dari ritual perayaan panen. Layang-layang ini bermotif batik dan di ujungnya disisipkan beberapa batang padi.

Bergeser ke barat, orang-orang Lampung memanfaatkan layang-layang untuk menarik perhatian ikan. Nelayan yang melaut tinggal menaikkan layang-layang maka ikan-ikan layur akan berkumpul mendekat. Dahulu, layang-layang penarik ikan dibuat dari daun loko-loko. Kini para nelayan membuat layang-layang dari tas kresek atau plastik.

Layang-layang asal Malaysia yang disebut wau. Merasa kenal dengan motifnya? :)


Puas menikmati berbagai jenis layang-layang, kami diajak membuat layang-layang sendiri. Sang pemandu mempersilakan membawa pulang layang-layang yang selesai kami bikin. Tak hanya membuat layang-layang, museum ini juga menawarkan kursus singkat membuat keramik. Lucunyaa...!

Lokasi membuat keramik berada tepat di samping bangunan museum. Seminggu sekali selalu ada warga negara asing yang membawa anak-anak mereka kursus di sini. Biasanya mereka adalah ekspatriat asal Korsel atau Jepang. Menurut mereka ketrampilan membuat kerajinan tangan tradisional penting diajarkan kepada anak-anak. Ini menarik dan menjadi satu catatan bagi kita semua. Semaju apapun teknologi yang dimiliki, penting mengajarkan kearifan lokal sejak dini.

Wisata edukatif ini tak perlu mengeluarkan banyak biaya. Cukup merogoh kocek Rp 15 ribu maka kita bisa puas menikmati keindahan layang-layang plus suasana sejuk. Tersedia juga beberapa macam paket lain dengan harga yang bervariatif. Harga paket jalan-jalan biasa tentu saja berbeda dengan paket kursus keramik. Over all, museum ini menarik dan layak masuk daftar destinasi kalau sedang berkunjung ke Jakarta Selatan.

0 komentar:

Posting Komentar