Senin, 25 Januari 2016

Nafas Tari Jawa Timur di Ibukota

Nafas Tari Jawa Timur di Ibukota

Tiga puluh lima penari berusia belia berbagi panggung di Gedung Kesenian Gajayana, Malang. Dengan gerakan yang bergerak dinamis dari gemulai hingga menghentak mereka menyihir ratusan penonton yang memadati gedung di Jalan Nusakambangan itu. Di akhir pertunjukan, riuh rendah tepukan penonton membahana memenuhi ruangan.

Pada Ahad (23/1) Sanggar Tari Anjungan Jawa Timur TMII sengaja menyambangi Malang untuk menampilkan sendratari Calon Arang. Sebelumnya Sanggar Anjungan Jatim telah mementaskan sendratari di Taman Budaya Surabaya pada Sabtu (23/1).

Mereka hadir berkat kerja sama yang terjalin antara Dinas Pariwisata Kota Malang dan Sanggar Tari Senaputra. Sendratari ini mengangkat judul "Giri-Gora Dahuru Daha" yang artinya Gonjang-Ganjing di Daha. Para penari yang tampil hari ini merupakan anggota sanggar yang berasal dari Jakarta.

Anjungan Jawa Timur di TMII memang memiliki sanggar kesenian yang pengelolaannya di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Sanggar ini menjadi wadah untuk memperkenalkan kesenian Jawa Timur di tengah serbuan budaya perkotaan yang serba modern dan instan.

Sutradara sendratari, Heri Suprayitno mengatakan dipilihnya cerita rakyat Calon Arang karena sesungguhnya cerita ini berakar dari Kerajaan Kahuripan di Kediri. "Dalam benak saya Pulau Jawa dan Bali pada zaman dahulu bukan merupakan pulau yang terpisah, maka tak heran Calon Arang ini dapat berkembang di Bali," ujarnya saat ditemui sebelum pementasan.

Pelatih dan para penari berdoa sebelum naik panggung. Sayangnya karena kamera HP saya tidak memadai maka hasil jepretan mereka ketika tampil sangat buruk dan tidak layak jika dimuat.
Heri yang sehari-hari menjadi pelatih tari di sanggar Anjungan Jatim menuturkan animo warga Jakarta untuk mempelajari kesenian Jawa Timur cukup menggembirakan. Para penampil yang diboyong ke Malang ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan anggota sanggar. Anak-anak didik yang belajar di sanggar pun tak pernah lepas dari prestasi.

Bergairahnya sanggar tersebut tak lepas dari keseriusan Pemprov Jatim dalam pengelolaannya. Sehari-hari sanggar ini diampu empat guru tari yang mengajarkan berbagai jenis tarian Jawa Timur. "Sanggar ini adalah satu-satunya tempat diklat di TMII yang dikelola dengan baik oleh pemprov dibandingkan anjungan-anjungan yang lain," kata alumnus Jurusan Pariwisata UNS ini.

Ketua anjungan tari Jatim di TMII, Samad Widodo mengungkapkan harapannya terhadap keberadaan sanggar. "Sanggar ini memperkenalkan tarian Jawa Timur agar bisa tumbuh dan berkembang di Jakarta," ucapnya.

Seorang peserta sanggar bernama Elita Damayanti Putri mengungkapkan ketertarikannya pada seni tari sudah tumbuh sejak kecil. Elita yang pada pementasan ini berperan sebagai anak Calon Arang bernama Ratna Manggalih mengaku sering mengikuti lomba-lomba kesenian khas Jawa Timur. Gadis asli Jakarta ini pernah menjadi juara 1 lomba tari pada Festival Reog dan juara 1 Festival Selaras Pinang Masa.

Perkenalannya dengan tarian Jawa Timur dimulai sepuluh tahun silam. Saat ia duduk di bangku kelas 2 SD, orang tuanya memasukkannya ke sanggar tari Anjungan Jatim. Kebetulan lokasi sanggar tak jauh dari tempat kerja sang ayah. "Menari dapat melatih kepekaan pikiran dan perasaan," kata gadis yang kini duduk di kelas 3 SMA ini.

Minggu, 24 Januari 2016

Omah Munir Melawan Lupa

Omah Munir Melawan Lupa

Rumah di Jalan Bukit Berbunga 2 Kota Batu, Malang itu nampak sederhana. Bagian depan rumah dibatasi pagar besi berwarna putih. Sepetak taman mungil dengan pohon palem menyambut siapapun yang datang ke rumah tersebut. Di bagian depan rumah tertera tulisan "Omah Munir".

Omah dalam bahasa Jawa berarti Rumah. Omah Munir merupakan rumah milik Suciwati Munir, istri almarhum aktivis HAM Munir. Suciwati sengaja menyulap hunian tersebut menjadi museum untuk mengenang sepak terjang sang suami. Meski Munir telah tiada namun dengan adanya Omah Munir kisah perjuangannya tak akan lekang oleh waktu.

Tampak depan Omah Munir

Munir lahir di Malang 8 Desember 1965. Omah Munir diresmikan tiga tahun silam bertepatan dengan tanggal lahirnya yakni 8 Desember 2013. Di rumah yang luasnya setengah lapangan futsal itu dipajang berbagai memorabilia milik Munir. Omah Munir dibagi menjadi tujuh bagian. Bagian-bagian rumah meliputi kantor pusat dan informasi, ruang utama display perjuangan munir, ruang kisah Munir dan Kontras, ruang koleksi dan peristiwa, dinding kisah Munir dan keluarga, ruang baca dan //meeting room//, serta kafe dan toko souvenir.

Ketika memasuki pintu rumah, pengunjung dapat melihat meja kerja Munir tatkala ia menjadi pejuang kemanusiaan di LBH Surabaya. Kadang meja itu menjadi tempat tidur Munir saat malam hari. Berkeliling Omah Munir kita dapat menebak bahwa semasa hidup ia adalah aktivis yang cerdas namun sederhana. Sederet penghargaan dari dalam dan luar negeri dialamatkan kepada Munir atas jasa-jasanya dalam penegakan HAM di tanah air.

Salah satu sudut di Omah Munir
Kesederhanaan alumnus Universitas Brawijaya tersebut tercermin dari benda-benda yang dipamerkan di Omah Munir. Tidak ada kemewahan dari barang-barang pribadi Munir. Sehari-hari ia gemar mengenakan jaket kulit yang sudah berlubang di beberapa titik dan kaos oblong. Kemeja, sepatu usang, dan jam tangan yang mayoritas berwarna hitam juga jauh dari kesan mewah. Penampilan Munir yang sangat membumi ini seolah menyatakan keberpihakannya kepada //wong cilik//. Sejak bergabung dengan LBH Surabaya, Munir memang menaruh minat pada advokasi buruh.

Naas, perjuangan anak dari Said Thalib dan Jamilah ini harus berakhir karena ia meninggal setelah meminum kopi yang dibubuhi arsenik. Ia diduga diracun saat singgah di Coffee Bean Bandara Changi Singapura pada 7 September 2004. Munir meninggal sekitar pukul 10.00 saat pesawat berada di langit rumania.

Sepatu usang ini sehari-hari menemani alm. Munir beraktivitas
Pada hari-hari biasa Omah Munir memang tak ramai pengunjung. Namun secara berkala di tempat ini sering diadakan diskusi dan pemutaran film mengenai HAM. Peminatnya pun membludak dan didominasi mahasiswa. Seorang pengunjung bernama Putra Dwi Aditya mengatakan keberadaan Omah Munir sangat bermanfaat bagi para generasi muda untuk lebih mengenal Munir. Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional UNS ini mengungkapkan selama ini ia memang tertarik pada sosok Munir. "Saya diberitahu teman mengenai Omah Munir dan ketika berkunjung ke Malang saya sempatkan ke sini," katanya saat ditemui pada Kamis (21/1).

Namun menurut Putra keberadaan Omah Munir kurang mencolok dan masih kurang terpublikasi. Putra menjelaskan di antaranya teman-teman kampusnya masih banyak yang belum tahu Omah Munir. Padahal museum ini sangat baik sebagai sarana edukasi sekaligus sebagai tanda perlawanan menolak lupa pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum tuntas.