Jumat, 04 September 2015

Dunia Tanpa Televisi

Dunia Tanpa Televisi

Sudah hampir empat tahun saya tidak berinteraksi dengan televisi. Terhitung sejak menjadi anak kost pada 2011, hari-hari saya jauh dari kotak ajaib itu. Hubungan mesra antara saya dan televisi hanya terjadi ketika saya pulang ke rumah atau mengunjungi rumah kerabat. Jadi ketika saya mudik, kendali remote control ada di tangan saya. Mungkin semacam balas dendam akibat sok-sokan menghindari televisi selama di kost.

"Mbak! Mbok diganti acaranya jangan yang itu," pinta si adek ketika suatu hari saya menonton televisi di rumah.

"Biarin to, kasihan orang primitif nggak pernah nonton TV," sahut ayah.

Saya cuma bisa ngakak tanpa beranjak dari kursi empuk ruang tengah.

Pada dasarnya saya suka menonton TV, tapi menurut saya tontonan yang ditayangkan makin hari makin tidak menggugah selera. Ada tiga jenis acara yang menjadi favorit saya, berita, acara musik, dan talkshow. Apa lacur, setiap kali menyalakan TV saya hanya menjumpai acara-acara yang tidak sesuai dengan minat saya.

Band-band beraliran musik Melayu mendominasi acara musik pagi. Saya tidak bilang musik Melayu yang mendayu itu tidak bagus. Buktinya saya doyan mendengarkan Fatwa Pujangganya Victor Hutabarat. Yang membuat musik itu tidak bagus adalah cara musisinya tampil dan membawakan lagunya. Sebagai anak yang besar di era 90-an, saya dan teman-teman seangkatan terbiasa mendengarkan lagu dengan lirik yang puitis dan dalam. Nama-nama seperti Dewa 19, Padi, Sheila on 7, Jikustik, atau Elemen menjadi jaminan mutu sebuah lagu. Bahkan hingga hari ini lagu-lagu jadul mereka tetap enak untuk dinikmati.

Bandingkan dengan band-band yang muncul saat ini. Kemunculan band aliran melayu satu selalu diikuti kemunculan band lain yang sejenis, sampai kami tak sempat mengingat namanya. Namun bagi kami generasi 90an, penampilan band saat ini tidak memuaskan selera musik kami. Lirik lagunya jauh dari kata puitis. Coba bandingan "hamparan langit maha sempurna bertahta bintang-bintang angkasa, namun satu bintang yang kupuja teruntai turun menyapaku" dengan "yank coba kau jujur padaku, yank foto siapa di dompetmu, yank kok kamu diam membisu, sayank jawab atau aku pergi sayank".

Hehe...



Lebih baik main ke luar daripada menonton tontonan palsu. Sumber gambar: speckyboy

Generasi yang beranjak remaja pada 2006 ke atas juga disuguhi girlband dan boyband Indonesia rasa Korea. Dengan penampilan glamour dan seragam, mereka menghentak layar kaca. Menyanyi mereka rombongan seperti mau naik haji. Setiap lagu yang dibawakan selalu disertai dengan koreografi yang membosankan. Tentu saja kualitas boyband dan girlband Indonesia masih jauh dari kualitas boyband dan girlband asal negeri ginseng.

Di Korsel, rekruitmen anggota boyband/girlband dilakukan sejak mereka masih remaja. Setelah berhasil lolos, para calon bintang itu ditraining bertahun-tahun mengenai musik, koreografi, dan akting. Setelah dinilai matang, barulah agensi berani mengorbitkan mereka. Hasilnya, mereka tak hanya menjadi penyanyi namun juga entertainer profesional yang mampu menyuguhkan hiburan memesona kepada para penggemarnya. Bandingkan dengan proses pembentukan boyband dan girlband ala-ala di Indonesia.

Susah rasanya kalau hari ini kita diminta menyebutkan grup vokal yang bisa seklasik Trio Libels, AB Three, atau RSD. Era memang terus bergulir. Setiap seniman punya penggemarnya masing-masing.

Untungnya ada Youtube.

Lewat Youtube saya masih bisa menyaksikan penampilan musisi-musisi lawas. Saya juga dipuaskan dengan penampilan musisi masa kini dengan musikalitas tinggi namun jarang muncul di TV. Lewat Youtube, saya bisa menikmati penampilan apik Tulus, Judika, atau Teza Sumendra. Saya juga bisa sepuasnya menonton Sounds from The Corner secara maraton.

Dunia tanpa televisi rupanya juga berhasil menjauhkan saya dari 'ghibah artis'. Sebagaimana kita tahu, tayangan infotainment kian menjamur di televisi dari pagi hingga sore. Sayangnya infotainment di Indonesia mayoritas sudah jauh bergeser dari kata 'informatif'. Infotainment malah konsisten membuka kebobrokan artis dan selebritas hingga kerak terbawah. Media lebih doyan memberitakan pasangan yang kawin cerai ketimbang prestasi seniman Indonesia di mancanegara.

Wajah-wajah yang hilir mudik di layar kaca seolah-olah berlomba mencari ketenaran lewat sensasi, bukan prestasi. Pernikahan pasangan artis bahkan 'harus banget' disiarkan seharian penuh di televisi, seolah-olah acara itu semacam royal wedding yang wajib diketahui rakyat se-Indonesia. Tidak cukup hanya pernikahan, prosesi kelahiran sang jabang bayi juga 'harus banget' disiarkan live. Tempo hari seorang penyanyi dangdut terbentur skandal foto topless di akun Instagramnya. Dengan mimik muka panik, ia mengaku  kalau Instagramnya dibajak. Terlepas dari jujur tidaknya pengakuan sang artis, haruskah melakukan hal serendah itu untuk mencapai pucuk tertinggi?

Menonton televisi tidak lagi menjadi kegiatan yang mengasyikkan manakala setiap menekan tombol power di remote yang muncul adalah sinetron percintaan ABG labil. Sinetron yang tayang di jam-jam prime time malah menyuguhkan drama romantika manusia setengah serigala yang jauh dari kata mendidik. Ada pula sinetron yang melabeli diri sebagai 'sinetron religi'. Namun nampaknya sang sutradara malas menggali ilmu agama lebih dalam sebelum memproduksi sinetron.

Maka terjadilah alur klise sinetron religi dimana selalu ada tokoh yang sangat lemah namun religius dan berhadapan dengan tokoh super jahat yang tidak mengenal Tuhan. Semua karakter tokoh digambarkan hitam atau putih tanpa adanya konflik berarti yang menguras emosi. Di akhir cerita, sang tokoh baik selalu menang sedangkan si jahat bertobat atau justru mati.

Ada lagi, kalau rating sinetron ternyata bagus maka stasiun tivi akan terus menayangkan sinetron tersebut setiap hari. Tak peduli episode sudah mencapai ratusan (bahkan ribuan) atau alur cerita melenceng jauh dari judul.

Kami memang butuh tontonan yang mendidik. Tapi jika yang dihadapkan pada kami adalah sinetron religi yang kebanyakan hanya mengandalkan kecantikan/ketampanan pemain namun miskin eksplorasi, pesan apa yang ingin disampaikan?

Keluarga cemara, Si Doel Anak Sekolahan, atau Satu Kakak Tujuh Ponakan bukanlah sinetron religi. Namun setiap episodenya selalu membawa pesan moral. Baik dari dialog yang keluar dari mulut para pemain maupun alur cerita yang dalam tapi tetap sederhana. Kita  patut berterima kasih kepada Dedi Mizwar yang setiap Ramadhan tak pernah absen menyuguhkan sinetron Para Pencari Tuhan. PPT seakan menjadi oase di tengah serbuan sinetron-sinetron yang hanya menonjolkan materialisme dan tampang keren para pemain.

Apa kabar ya pola pikir adik-adik kita yang masih SD jika setiap hari disuguhkan sinetron yang mengumbar aurat, materialisme, dan kisah cinta manusia setengah serigala?

Menjamurnya tayangan televisi yang demikian parahnya membuat sejumlah stasiun televisi kena semprit KPI. Acara dagelan dan musik yang terlalu banyak mengumbar hinaan fisik dan komedi slapstick sempat dihentikan penayangannya sementara. Sinetron yang memamerkan kemesraan berlebih juga kena sentil KPI.

Tapi akan sampai kapankah tontonan tidak bermutu itu terus wara-wiri di layar kaca? Sebagai orang awam saya masih belum paham, apakah media yang membentuk selera masyarakat? Atau sebenarnya masyarakatlah yang secara tidak sadar menggiring media untuk terus menerus menyiarkan tontonan tak bermutu?

Kondisi pertelevisian yang compang-camping dalam menyuguhkan hiburan membuat saya masih betah menjalani hari tanpa televisi. Tidak semua stasiun televisi buruk sih. Masih ada NET dan Kompas TV yang layak tonton tanpa menyebabkan sakit mata dan sakit jiwa. :D

"Kamu ini lho suka menyiksa diri sendiri, tinggal beli tivi murah ada kok yang harganya di bawah sejuta," saran seorang teman.

Kebetulan saya sedang tidak menyiksa diri sendiri. Lagipula saya tidak pernah kesepian meski hidup tanpa televisi. Saya dikelilingi teman-teman yang menyenangkan dan ritme kerja yang dinamis. Bisa dikatakan setiap akhir pekan saya dan teman-teman selalu punya agenda menarik yang menjauhkan kami dari televisi. Justru dengan tidak adanya televisi, saya dan teman-teman satu kos lebih akrab karena sering mengobrol. Dan yang paling penting, saya tidak perlu mengeluarkan tambahan biaya listrik kos karena membawa televisi.

Hehe..

Saya tidak tahu kapan hati saya akan tergerak membeli televisi. Bisa dalam waktu dekat atau masih lama. Atau mungkin besok saja kalau saya sudah menikah dan tinggal bersama suami. Saya juga tidak tahu. Kalaupun saat ini saya disuruh membeli televisi, saya masih pikir-pikir dulu. Tapi kalau ada yang berbaik hati memberi, tentu saja dengan senang hati saya terima. :P