Selasa, 29 Desember 2015

Burung Surga yang Belum Diterima

Jelang akhir 2015, Kementerian Pemuda dan Olahraga merilis maskot yang akan digunakan dalam perhelatan ASIAN Games 2018. Dalam gelaran akbar tersebut pemerintah mengambil tokoh burung cendrawasih yang mengenakan pakaian pencak silat sebagai representasi dari Indonesia.

Bird of Paradise. Photo taken from Pinterest.

Alih-alih mendapat pujian, maskot bernama Drawa itu justru mendulang kritikan dari berbagai lapisan masyarakat.

"Desain maskot Asian Games yang jadul itu mungkin cermin betapa kakunya aturan birokrasi." -Wicaksono-
(@ndorokakung)

Menciptakan maskot memang tidak mudah, ada filosofi-filosofi tertentu yang terkandung dalam suatu karakter sehingga ia dipilih menjadi maskot. Akan tetapi pertimbangan filosofis bukan berarti mengesampingkan estetika. Dari waktu ke waktu desain maskot bikinan Indonesia selalu terkesan kurang 'mbois' dan kurang 'cute'.

Cuitan itu hanyalah satu dari membludaknya komentar soal Drawa. Munculnya kritikan atas burung khas Papua itu sangat beralasan mengingat tampilan Drawa yang terkesan jadul dan seadanya. Warna maskot ASIAN Games 2018 bisa dibilang kusam dan muncul dengan pose serta mimik wajah yang kaku. Tiap bagian tubuh Drawa hanya diblok satu warna yang monoton. Saya pun ketika pertama kali melihat Drawa, bingung menafsirkan sosok apakah ia. Antara ayam atau burung antah berantah.

Drawa seperti dibuat oleh seorang desainer di era 1950-an kemudian dikirimkan ke 2015 menggunakan mesin waktu. Tatkala membaca berbagai hujatan yang beredar di linimasa, mungkin sang pencipta maskot tengah teriris-iris hatinya. Namun apa mau dikata memang si Drawa ini tidak kekinian sama sekali. Desain maskot Olympiade 1980 di Rusia pun jauh lebih futuristik dibandingkan Drawa padahal keduanya berasal dari era yang berbeda. Di ranah instagram, komentar-komentar yang dialamatkan pada maskot yang baru lahir ini bahkan jauh lebih sadis. Ada yang mengomentari mirip maskot Chiki dan ada yang bilang si Drawa seperti banner penjual ayam goreng. Netizen lain ada yang cukup mengeluarkan satu kata namun langsung menghujam ulu hati: pathetic. Apes benar nasib Drawa, padahal ia baru diluncurkan pada 27 Desember 2015 oleh Wapres Jusuf Kalla.

Drawa dianggap gagal menunjukkan keindahan burung cendrawasih yang kerap dijuluki bird of paradise. Banyak pihak kemudian membanding-bandingkan dengan maskot ASIAN Games pada tahun-tahun sebelumnya.

Masyarakat bertanya-tanya mengapa pemerintah selalu terpaku pada selera yang itu-itu melulu. Padahal, Indonesia dipenuhi talenta-talenta muda nan penuh ide. Saya memang bukan desainer grafis. Saya hanyalah orang awam yang penasaran apa susahnya bagi pemerintah/panitia ASIAN Games 2018 menunjuk seorang desainer berbakat? Toh Indonesia tidak kekurangan orang-orang kreatif. Ambil contoh, Bayu Santoso yang desainnya berhasil dipilih menjadi cover album Maroon 5 untuk album "V".

Saya yakin kreativitas orang-orang Indonesia tidak kalah dari negeri sebelah yang jago bikin maskot lucu-lucu. Orang-orang kreatif cuma perlu diberi kesempatan untuk unjuk gigi menampilkan karya terbaiknya.

Kasus Drawa mengingatkan kita pada kasus pembuatan logo kota Yogyakarta pada Oktober 2014. Kala itu kehadiran logo baru dianggap terlalu absurd dan menjadi bahan candaan netizen. Huruf-huruf yang harusnya terbaca "JOGJA" malah lebih banyak diplesetkan menjadi "TOGUA". Dari segi estetika, logo baru "TOGUA" pun tidak menarik sama sekali. Gelombang protes menyerang logo baru tersebut. Alhasil pemda cepat-cepat merevisi logo Kota Gudeg ini.

Dalam kasus Drawa, untungnya Menpora Imam Nahrawi membuka celah untuk merevisi bentuk si Drawa. Setidaknya masyarakat Indonesia dapat bernafas lega dapat terhindar dari potensi dicibir bangsa-bangsa lain terkait maskot tersebut. Kita tentu saja tidak ingin mendengar orang asing melempar tanya, "Hey man, what the hell is that?" "Cendrawasih? Are you kidding me?"

Pedih lah ya.

0 komentar:

Posting Komentar