Senin, 23 November 2015

Jajan Pasar dan Jamu Gendong Sosialita

"Enak ya kamu Chris, sering gaul sama artis dan orang-orang kaya," kira-kira begitulah komentar teman saya suatu hari. Kalimat itu meluncur tatkala ia mengetahui saya masih ribet meliput acara sebuah komunitas orang-orang berduit padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Saya cuma mesam-mesem membaca Whatsapp itu. Iya sih, ada benarnya tapi juga tidak sepenuhnya benar. Enaknya adalah minimal wawasan kuliner saya nambah dan tidak monoton. Selain menu Warteg Ibu Sunda depan kosan dan pecel lele sebelah Ind*maret, lidah saya jadi termanjakan dengan makanan-makanan enak yang bahkan namanya saja saya kadang belibet mengucapkan.
Bicara soal sosialita dan makanan, ternyata tidak semua makanan yang disantap orang-orang berkantong tebal itu benar-benar makanan elit.

Mereka juga doyan makan makanan "kelas dua" alias makanan yang biasanya dianggap makanan ndeso. Nagasari, apem, clorot (ini apa sih bahasa indonesianya saya belum nemu), lupis, atau gethuk. Tapi namanya juga menyasar segmen berduit, harga dan pengemasan juga berbeda dibandingkan dengan yang biasa saya dan teman-teman semua makan. Suatu hari saya mencari tahu harga untuk satu porsi lupis yang dijual di sebuah toko makanan kelas atas di jantung ibukota. Seporsi makanan tradisional berbahan dasar ketan itu dihargai Rp 9 ribu rupiah. Pun untuk jajanan pasar lain macam pastel dan gethuk, rata-rata harga yang ditawarkan antara Rp 7 ribu - Rp 10 ribu per biji/per porsi.

Ingatan saya tiba-tiba melayang pada satu sudut di Pasar Lempuyangan. Di sana, simbok-simbok dan budhe-budhe penjual lupis dan thiwul dengan senang hati melepas dagangannya dengan harga tak lebih dari Rp 5 ribu per porsi. Saya juga jadi membayangkan sepenggal jalan di selatan Dusun Kembangarum dimana terdapat warung jajan pasar super ramai. Per biji pastel, lumpia, dan kawan-kawannya cukup ditebus dengan harga Rp 1.500 - Rp 2.000 saja. Gerobak jajan pasar yang mangkal tiap pagi di dekat kosan saya juga menjual jajan pasar yang harganya 11-12 dengan Pasar Lempuyangan. Namun berkat kelihaian manusia menguasai ilmu marketing, makanan ndeso itu langsung naik kelas karena dijual di mal dan disemati label toko makanan. Harga bakal melonjak jadi ratusan ribu jika pembeli memesan dalam bentuk tampahan yang berisi aneka macam jajan pasar.

Di satu sisi fakta ini jadi berita baik karena makanan tradisional Indonesia ramai diminati berbagai kalangan, bahkan kalangan atas. Tapi di sisi lain saya jadi mikir betapa mahalnya harga kemewahan yang harus orang kaya bayar untuk menikmati hal-hal yang menurut kita murah dan sederhana. "Jajan pasar yang dijual di toko saya sebagian besar diambil dari industri rumahan," kata sang pemilik toko. Wah, ternyata sumbernya juga sama dengan makanan yang dijual di pasar. Kirain bikinan ahli masak terkenal. Hehe... Tapi apa yang dilakukan ini tentu saja baik untuk memberdayakan home industri. Sayangnya saya lupa bertanya berapa harga yang dia bayarkan ke home industri atas produk-produk jajan pasar ini (tapi kayaknya tidak bakal dijawab juga sih...hehe).



Kali lain saya meliput acara sore-sore, nama acaranya "Jagongan". Undangan yang saya terima mendeskripsikan acara itu sebagai acara ngemil-ngemil santai di museum. Sesampainya di lokasi, para pengunjung disuguhi hamparan tikar dari anyaman bambu. Di tempat itu disediakan berbagai menu yang merakyat semisal nasi pecel dan tempe goreng. Minumannya pun tak kalah tradisional, jamu gendong. Ada pula teh serai dan teh kayu manis. Maka berseliweranlah para pelayan dengan bergelas-gelas kunyit asam, beras kencur, dan kawan-kawan sejenisnya. Para pengunjung, yang di dalamnya terdapat kumpulan istri para direktur BUMN, juga nampak lahap menikmati sepincuk nasi pecel. Buat saya yang wong cilik, ini sama sekali tidak istimewa. Lha wong di tanah Mataram saya sudah sehari-harinya begini. Tetapi hidangan yang menurut saya amat sederhana dan lugu ini rela ditebus para sosialita dengan tiket seharga Rp 150 ribu. Iya, mereka bayar ratusan ribu hanya untuk makan pecel dan minum jamu di atas tikar bambu. Walah...

Saya, yang ilmunya super terbatas ini, jadi tidak paham dengan definisi 'mewah' dan 'elit' menurut kaum berduit. Apakah saking kaya dan modern seseorang, ia semakin tidak sempat menikmati hal-hal murah dan lumrah di dekatnya? Ataukah semakin bergelimang harta maka mahal harga yang harus ia bayar untuk membeli kesederhanaan? Entahlah.


Photo credit: Kaskus.co.id

0 komentar:

Posting Komentar